Banner

Total Tayangan Halaman

Translate

Jumat, 05 Maret 2010

Sejarah Bahasa Jawa

Sejarah Bahasa Jawa
Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan penduduk suku bangsa Jawa terutama di beberapa bagian Banten terutama di kabupaten Serang dan Tangerang, Jawa Barat khususnya kawasan Pantai utara terbentang dari pesisir utara Karawang, Subang, Indramayu dan Cirebon, Jawa Tengah & Jawa Timur di Indonesia.

Penyebaran Bahasa Jawa
Penduduk Jawa yang berpindah ke Malaysia turut membawa bahasa dan kebudayaan Jawa ke Malaysia, sehingga terdapat kawasan pemukiman mereka yang dikenal dengan nama kampung Jawa, padang Jawa. Di samping itu, masyarakat pengguna Bahasa Jawa juga tersebar di berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kawasan-kawasan luar Jawa yang didominasi etnis Jawa atau dalam persentase yang cukup signifikan adalah : Lampung (61%), Bengkulu (25%), Sumatra Utara (antara 15%-25%). Khusus masyarakat Jawa di Sumatra Utara ini, mereka merupakan keturunan para kuli kontrak yang dipekerjakan di berbagai wilayah perkebunan tembakau, khususnya di wilayah Deli sehingga kerap disebut sebagai Jawa Deli atau Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera). Sedangkan masyarakat Jawa di daerah lain disebarkan melalui program transmigrasi yang diselenggarakan semenjak jaman penjajahan Belanda.

Selain di kawasan Nusantara ataupun Malaysia. Masyarakat Jawa juga ditemukan dalam jumlah besar di Suriname, yang mencapai 15% dari penduduk secara keseluruhan, kemudian di Kaledonia Baru bahkan sampai kawasan Aruba dan Curacao serta Belanda. Sebagian kecil bahkan menyebar ke wilayah Guyana Perancis dan Venezuela.

Fonologi
Dialek baku bahasa Jawa, yaitu yang didasarkan pada dialek Jawa Tengah, terutama dari sekitar kota Surakarta dan Yogyakarta memiliki fonem-fonem berikut:

Vokal: Depan Tengah Belakang i u e Y o ([) (T) a
Konsonan: Labial Dental Alveolar Retrofleks Palatal Velar Glotal Eksplosiva p b t d ˆ V tƒ d’ k g ” Frikatif s (‚) h Likuida & semivokal w l r j Sengau m n (s) r K
Perhatian: Fonem-fonem antara tanda kurung merupakan alofon.

Penjelasan Vokal
Tekanan kata (stress) direalisasikan pada suku kata kedua dari belakang, kecuali apabila sukukata memiliki sebuah pepet sebagai vokal. Pada kasus seperti ini, tekanan kata jatuh pada sukukata terakhir, meskipun sukukata terakhir juga memuat pepet. Apabila sebuah kata sudah diimbuhi dengan afiks, tekanan kata tetap mengikuti tekanan kata kata dasar.

Contoh: /jaran/ (kuda) dilafazkan sebagai [j'aran] dan /pajaranan/ (tempat kuda) dilafazkan sebagai [paj'aranan].
Semua vokal kecuali /Y/, memiliki alofon. Fonem /a/ pada posisi tertutup dilafazkan sebagai [a], namun pada posisi terbuka sebagai [T].
Contoh: /lara/ (sakit) dilafazkan sebagai [l'TrT], tetapi /larane/ (sakitnya) dilafazkan sebagai [l'arane]
Fonem /i/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [i] namun pada posisi tertutup lafaznya kurang lebih mirip [e].
Contoh: /panci/ dilafazkan sebagai [p'arci] , tetapi /kancil/ kurang lebih dilafazkan sebagai [k'arcel].
Fonem /u/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [u] namun pada posisi tertutup lafaznya kurang lebih mirip [o].
Contoh: /wulu/ (bulu) dilafazkan sebagai [w'ulu] , tetapi /ˆuyul/ (tuyul) kurang lebih dilafazkan sebagai [ˆ'uyol].
Fonem /e/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [e] namun pada posisi tertutup sebagai [[]. Contoh: /lele/ dilafazkan
sebagai [l'ele] , tetapi /bebek/ dilafazkan sebagai [b'[b[”].
Fonem /o/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [o] namun pada posisi tertutup sebagai [T].
Contoh: /loro/ dilafazkan sebagai [l'oro] , tetapi /boloK/ dilafazkan sebagai [b'TlTK].
Penjelasan Konsonan Fonem /k/ memiliki sebuah alofon. Pada posisi terakhir, dilafazkan sebagai [”]. Sedangkan pada posisi tengah dan awal tetap sebagai [k].
Fonem /n/ memiliki dua alofon. Pada posisi awal atau tengah apabila berada di depan fonem eksplosiva palatal atau retrofleks, maka fonem sengau ini akan berubah sesuai menjadi fonem homorgan. Kemudian apabila fonem /n/mengikuti sebuah /r/, maka akan menjadi [s] (fonem sengau retrofleks).
Contoh: /panjaK/ dilafazkan sebagai [p'arjaK], lalu /anVap/ dilafazkan sebagai [”'asVap]. Kata /warna/ dilafazkan sebagai [w'arsT].
Fonem /s/ memiliki satu alofon. Apabila /s/ mengikuti fonem /r/ atau berada di depan fonem eksplosiva retrofleks, maka akan direalisasikan sebagai [‚].
Contoh: /warsa/ dilafazkan sebagai [w'ar‚T], lalu /esˆi/ dilafazkan sebagai [”'e‚ˆi].

Fonotaktik
Dalam bahasa Jawa baku, sebuah sukukata bisa memiliki bentuk seperti berikut: (n)-K1-(l)-V-K2.
Artinya ialah Sebagai berikut:
- (n) adalah fonem sengau homorgan.
- K1 adalah konsonan eksplosiva ata likuida.
- (l) adalah likuida yaitu /r/ atau /l/, namun hanya bisa muncul kalau K1 berbentuk eksplosiva.
- V adalah semua vokal. Tetapi apabila K2 tidak ada maka fonem /Y/ tidak bisa berada pada posisi ini.
- K2 adalah semua konsonan kecuali eksplosiva palatal dan retrofleks; /c/, /j/, /ˆ/, dan /V/.
Contoh:
- a
- an
- pan
- prang
- njlen

Dialek-Dialek Bahasa Jawa
Bahasa Jawa pada dasarnya terbagi atas dua klasifikasi dialek, yakni :
- Dialek daerah, dan
- Dialek sosial

Karena bahasa ini terbentuk dari gradasi-gradasi yang sangat berbeda dengan Bahasa Indonesia maupun Melayu, meskipun tergolong rumpun Austronesia. Sedangkan dialek daerah ini didasarkan pada wilayah, karakter dan budaya setempat. Perbedaan antara dialek satu dengan dialek lainnya bisa antara 0-70%. Untuk klasifikasi berdasarkan dialek daerah, pengelompokannya mengacu kepada pendapat E.M. Uhlenbeck, 1964, di dalam bukunya : "A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura", The Hague: Martinus Nijhoff[1].

Kelompok Bahasa Jawa Bagian Barat
- Dialek Banten
- Dialek Cirebon
- Dialek Tegal
- Dialek Banyumasan
- Dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas)

Kelompok pertama di atas sering disebut bahasa Jawa ngapak-ngapak.
Kelompok Bahasa Jawa Bagian Tengah :
- Dialek Pekalongan
- Dialek Kedu
- Dialek Bagelen
- Dialek Semarang
- Dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)
- Dialek Blora
- Dialek Surakarta
- Dialek Yogyakarta
- Dialek Madiun

Kelompok kedua di atas sering disebut Bahasa Jawa Standar, khususnya dialek Surakarta dan Yogyakarta.

Kelompok Bahasa Jawa Bagian Timur :
- Dialek Pantura Jawa Timur (Tuban, Bojonegoro)
- Dialek Surabaya
- Dialek Malang
- Dialek Jombang
- Dialek Tengger
- Dialek Banyuwangi (atau disebut Bahasa Osing)

Kelompok ketiga di atas sering disebut Bahasa Jawa Timuran.
Dialek sosial dalam Bahasa Jawa berbentuk sebagai berikut :
- Ngoko
- Ngoko andhap
- Madhya
- Madhyantara
- Kromo
- Kromo Inggil




Mungkin bagusnya ditampilkan sejarah penggunaannya yang dimulai dengan bahasa sanskerta sampai sekarang.

Dulu saya pernah baca juga tentang perjalanan bahasa sunda yang dimulai prasasti Tarumanagara sampai sekarang. Dimana manusia memang bersifat dinamis yang terus menerus akan mengalami penyesuaian





Sejarah Penggunaan Bahasa Sunda Di Tatar Sunda

Bahasa Sunda merupakan bahasa yang diciptakan dan digunakan oleh orang Sunda dalam berbagai keperluan komunikasi kehidupan mereka. Tidak diketahui kapan bahasa ini lahir, tetapi dari bukti tertulis yang merupakan keterangan tertua, berbentuk prasasti berasal dari abad ke-14.

Prasasti dimaksud di temukan di Kawali Ciamis, dan ditulis pada batu alam dengan menggunakan aksara dan Bahasa Sunda (kuno). Diperkirakan prasasti ini ada beberapa buah dan dibuat pada masa pemerintahan Prabu Niskala Wastukancana (1397-1475).

Salah satu teks prasasti tersebut berbunyi “Nihan tapak walar nu siya mulia, tapak inya Prabu Raja Wastu mangadeg di Kuta Kawali, nu mahayuna kadatuan Surawisésa, nu marigi sakuliling dayeuh, nu najur sakala désa. Ayama nu pandeuri pakena gawé rahayu pakeun heubeul jaya dina buana” (inilah peninggalan mulia, sungguh peninggalan Prabu Raja Wastu yang bertakhta di Kota Kawali, yang memperindah keraton Surawisesa, yang membuat parit pertahanan sekeliling ibukota, yang menyejahterakan seluruh negeri. Semoga ada yang datang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia).

Dapat dipastikan bahwa Bahasa Sunda telah digunakan secara lisan oleh masyarakat Sunda jauh sebelum masa itu. Mungkin sekali Bahasa Kw’un Lun yang disebut oleh Berita Cina dan digunakan sebagai bahasa percakapan di wilayah Nusantara sebelum abad ke-10 pada masyarakat Jawa Barat kiranya adalah Bahasa Sunda (kuno), walaupun tidak diketahui wujudnya.

Bukti penggunaan Bahasa Sunda (kuno) secara tertulis, banyak dijumpai lebih luas dalam bentuk naskah, yang ditulis pada daun (lontar, enau, kelapa, nipah) yang berasal dari zaman abad ke-15 sampai dengan 180. Karena lebih mudah cara menulisnya, maka naskah lebih panjang dari pada prasasti. Sehingga perbendaharaan katanya lebih banyak dan struktur bahasanya pun lebih jelas. Contoh bahasa Sunda yang ditulis pada naskah adalah sebagai berikut:

(1) Berbentuk prosa pada Kropak 630 berjudul Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518) “Jaga rang héés tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo, ulah urang kajongjonan. Yatnakeun maring ku hanteu” (Hendaknya kita tidur sekedar penghilang kantuk, minum tuak sekedar penghilang haus, makan sekedar penghilang lapar, janganlah berlebih-lebihan. Ingatlah bila suatu saat kita tidak memiliki apa-apa!)

(2) Berbentuk puisi pada Kropak 408 berjudul Séwaka Darma (abad ke-16) “Ini kawih panyaraman, pikawiheun ubar keueung, ngaranna pangwereg darma, ngawangun rasa sorangan, awakaneun sang sisya, nu huning Séwaka Darma” (Inilah Kidung nasihat, untuk dikawihkan sebagai obat rasa takut, namanya penggerak darma, untuk membangun rasa pribadi, untuk diamalkan sang siswa, yang paham Sewaka Darma).

Tampak sekali bahwa Bahasa Sunda pada masa itu banyak dimasuki kosakata dan dipengaruhi struktur Bahasa Sanskerta dari India. Setelah masyarakat Sunda mengenal, kemudian menganut Agama Islam, dan menegakkan kekuasaan Agama Islam di Cirebon dan Banten sejak akhir abad ke-16. Hal ini merupakan bukti tertua masuknya kosakata Bahasa Arab ke dalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda.

Di dalam naskah itu terdapat 4 kata yang berasal dari Bahasa Arab yaitu duniya, niyat, selam (Islam), dan tinja (istinja). Seiring dengan masuknya Agama Islam kedalam hati dan segala aspek kehidupan masyarakat Sunda, kosa kata Bahasa Arab kian banyak masuk kedalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda dan selanjutnya tidak dirasakan lagi sebagai kosakata pinjaman.

Kata-kata masjid, salat, magrib, abdi, dan saum, misalnya telah dirasakan oleh orang Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendaharaan bahasanya sendiri. Pengaruh Bahasa Jawa sebagai bahasa tetangga dengan sesungguhnya sudah ada sejak Zaman Kerajaan Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendaharaan bahasanya. Paling tidak pada abad abad ke-11 telah digunakan Bahasa dan Aaksara Jawa dalam menuliskan Prasasti Cibadak di Sukabumi. Begitu pula ada sejumlah naskah kuno yang ditemukan di Tatar Sunda ditulis dalam Bahasa Jawa, seperti Siwa Buda, Sanghyang Hayu.

Namun pengaruh Bahasa Jawa dalam kehidupan berbahasa masyarakat Sunda sangat jelas tampak sejak akhir abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19 sebagai dampak pengaruh Mataram memasuki wilayah ini. Pada masa itu fungsi Bahasa Sunda sebagai bahasa tulisan di kalangan kaum elit
terdesak oleh Bahasa Jawa, karena Bahasa Jawa dijadikan bahasa resmi dilingkungan pemerintahan. Selain itu tingkatan bahasa atau Undak Usuk Basa dan kosa kata Jawa masuk pula kedalam Bahasa Sunda mengikuti pola Bahasa Jawa yang disebut Unggah Ungguh Basa.

Dengan penggunaan penggunaan tingkatan bahasa terjadilah stratifikasi social secara nyata. Walaupun begitu Bahasa Sunda tetap digunakan sebagai bahasa lisan, bahasa percakapan sehari-hari masyarakat Sunda. Bahkan di kalangan masyarakat kecil terutama masyarakat pedesaan, fungsi bahasa tulisan dan bahasa Sunda masih tetap keberadaannya, terutama untuk menuliskan karya sastera WAWACAN dengan menggunakan Aksara Pegon.

Sejak pertengahan abad ke 19 Bahasa Sunda mulai digunakan lagi sebagai bahasa tulisan di berbagai tingkat sosial orang Sunda, termasuk penulisan karya sastera. Pada akhir abad ke 19 mulai masuk pengaruh Bahasa Belanda dalam kosakata maupun ejaan menuliskannya dengan aksara
Latin sebagai dampak dibukanya sekolah-sekolah bagi rakyat pribumi oleh pemerintah.

Pada awalnya kata BUPATI misalnya, ditulis boepattie seperti ejaan Bahasa Sunda dengan menggunakan Aksara Cacarakan (1860) dan Aksara Latin (1912) yang dibuat oleh orang Belanda. Selanjutnya, masuk pula kosakata Bahasa Belanda ke dalam Bahasa Sunda, seperti sepur, langsam,
masinis, buku dan kantor.

Dengan diajarkannya di sekolah-sekolah dan menjadi bahasa komunikasi antar etnis dalam pergaulan masyarakat, Bahasa Melayu juga merasuk dan mempengaruhi Bahasa Sunda. Apalagi setelah dinyatakan sebagai bahasa persatuan dengan nama Bahasa Indonesia pada Tahun 1928. Sejak tahun
1920-an sudah ada keluhan dari para ahli dan pemerhati Bahasa Sunda, bahwa telah terjadi Bahasa Sunda Kamalayon, yaitu Bahasa Sunda bercampur Bahasa Melayu.

Sejak tahun 1950-an keluhan demikian semakin keras karena pemakaian Bahasa Sunda telah bercampur (direumbeuy) dengan Bahasa Indonesia terutama oleh orang-orang Sunda yang menetap di kota-kota besar, seperti Jakarta bahkan Bandung sekalipun. Banyak orang Sunda yang tinggal di kota-kota telah meninggalkan pemakaian Bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari di rumah mereka. Walaupun begitu, tetap muncul pula di kalangan orang Sunda yang dengan gigih memperjuangkan
keberadaan dan fungsionalisasi Bahasa Sunda di tengah-tengah masyarakatnya dalam hal ini Sunda dan Jawa Barat. Dengan semakin banyaknya orang dari keluarga atau suku bangsa lain atau etnis lain yang menetap di Tatar Sunda kemudian berbicara dengan Bahasa Sunda dalam pergaulan sehari-harinya. Karena itu, kiranya keberadaan Bahasa Sunda optimis bakal terus berlanjut.

Sumber: Ensiklopedi Sunda
Penerbit: Pustaka Jaya





Masyarakat Sunda Pernah Melupakan Aksaranya

Konon, bangsa Cina telah mempunyai aksara sejak 3.000 atau 2.000 tahun sebelum Masehi. Sedangkan bangsa India telah memiliki aksara sejak kira-kira 800 tahun sebelum Masehi. Tetapi, percaya atau tidak, etnis Sunda malah pernah melupakan aksaranya sendiri lalu ironisnya malah mengadopsi aksara dari Jawa.

BAHKAN sampai sekarang, yang disebut aksara Sunda adalah hanacaraka masih banyak yang mengakui. Mau tahu? Coba saja jalan-jalan di Kota Tasikmalaya, sebuah daerah yang selama ini dijadikan pusat pertumbuhan di wilayah Priangan Timur, Jawa Barat. Setiap kita menemukan petunjuk nama jalan, di bawah aksara Latin selalu ditulis dengan aksara hanacaraka.

Aksara tersebut selama dua ratus tahun lebih dianggap sebagai aksara Sunda. Selain untuk kepentingan administrasi lokal, aksara hanacaraka tersebut sampai tahun 1950-an masih diajarkan sebagai aksara Sunda di sekolah-sekolah menengah. "Karena cara menulisnya susah, sebagian dari tugas sekolah saya tulis dengan huruf Latin," Gubernur HR Nuriana mengungkapkan pengalaman masa kecilnya di depan lebih dari 600 peserta Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) di Bandung.

Ketika guru meminta Nuriana muda membacakan hasil pekerjaannya, tentu saja ia bisa membacanya dengan lancar. Namun, rupanya hal itu membuat gurunya curiga. Ia kemudian memeriksa pekerjaan muridnya yang nakal. "Akhirnya, saya disetrap di depan kelas karena separuh dari tugas tersebut ditulis dengan huruf Latin," katanya terkekeh-kekeh.

Yang dimaksud dan telanjur disebut aksara Sunda hanacaraka adalah aksara yang diambil dari aksara Jawa atau biasa disebut carakan. Tetapi, di lidah orang Sunda kemudian menjadi cacarakan.

Di beberapa daerah, aksara tersebut sering dianggap mempunyai nilai sakral. Buktinya, di beberapa masyarakat adat masih ada yang menggunakannya untuk menentukan hari baik atau hari buruk untuk melaksanakan atau menyelenggarakan kegiatan mereka. Aksara tersebut kemudian dikonversi menurut angka-angka sesuai dengan urutan abjadnya.

***

ADOPSI yang dilakukan masyarakat Sunda terhadap aksara Jawa bukan berarti sebelumnya mereka tidak memiliki kecakapan menulis. Jauh sebelum itu, Kepala Museum Sri Baduga Jawa Barat Tien Wartini mengungkapkan, tradisi tulis pada masyarakat Sunda telah berlangsung dalam rentang waktu yang amat panjang.

Bahkan sebelum mengenal aksara, masyarakat Sunda telah mengenal simbol-simbol yang digoreskan pada batu, seperti yang ditemukan di Kampung Kuta, Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi. Hingga kini, goresan berupa simbol tersebut masih digunakan oleh masyarakat Badui pada kolenjer, yakni alat perhitungan waktu untuk pranatamangsa atau kalender pertanian dan waroge, yakni alat untuk mengusir roh jahat ketika nukuh yang merupakan salah satu rangkaian upacara dalam proses menanam padi.

Akan tetapi, kecakapan menulis dalam arti menggunakan aksara, sudah dikenal sejak abad ke-5 Masehi, bersamaan dengan masuknya pengaruh Hindu di Jawa Barat yang kemudian memperkenalkan aksara Pallawa. Di Jawa Barat ditemukan sebanyak 29 prasasti dan 25 prasasti di antaranya berasal dari masa Kerajaan Sunda.

Empat prasasti yang berasal dari Kerajaan Tarumanagara masing-masing Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Ciaruteun, Prasasti Cidanghiang, dan Prasasti Tugu bisa membuktikan hal ini. Prasasti Kebon Kopi ditemukan di kebun kopi milik Jonathan Rig, dibuat sekitar 400 Masehi (H Kern 1917).

Sementara Prasasti Ciaruteun ditemukan pada aliran Sungai Ciaruteun, merupakan salah satu bukti paling terkenal tentang kehadiran Kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat. Sedangkan Prasasti Cidanghiang yang ditemukan di aliran Sungai Cidanghiang, sebuah sungai yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, isinya merupakan pujian kepada Raja Purnawarman. Prasasti Tugu ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi.

Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya.

Selain aksara Pallawa yang menjadi cikal bakal aksara-aksara daerah di Nusantara, masyarakat juga mengenal aksara lainnya, yaitu aksara tipe Pranagari yang berasal dari India utara. Di Jawa Barat, aksara tipe ini dapat dibuktikan melalui teks-teks naskah yang berlatar belakang Buddhis. Misalnya Kunjakarna, Serat Catur Bumi, Serat Dewa Buddha, dan lainnya.

Tinggalan yang masih bisa kita saksikan saat ini yang berkaitan dengan agama Buddha adalah Kabuyutan Ciburuy di Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut. Di sana masih tersimpan naskah-naskah dari lontar maupun nipah serta alat-alat untuk membuatnya, berupa peso pagot dan gunting untuk memotong daun.

***

BUKTI-bukti kreativitas tradisi tulis pada masyarakat Sunda itu bisa disaksikan pada pameran di Museum Negeri Sri Baduga Jawa Barat yang diselenggarakan bersamaan dengan Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) di Bandung, 25 Agustus-6 September mendatang. Dalam pameran tersebut, selain ditampilkan aksara Pallawa, juga ditampilkan aksara Sunda kuna dan Jawa kuna.

Aksara Sunda kuna pada awalnya merupakan perkembangan dari aksara tipe Pallawa Lanjut yang mengacu pada model aksara Kamboja dengan beberapa ciri yang masih melekat dari pengaruh tipe aksara prasasti-prasasti zaman Tarumanagara, sebelum mencapai taraf modifikasi bentuk khasnya sebagaimana yang digunakan naskah-naskah (lontar) abad ke-16.

Penggunaan aksara Sunda kuna dalam bentuk paling awal antara lain dijumpai pada prasasti-prsasasti yang terdapat di Astanagede, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, dan Prasasti Kebantenan yang dijumpai di Kabupaten Bekasi. Perkembangan aksara Sunda kuna yang dinilai telah mencapai tahap modifikasi yang lebih mantap ditemukan dalam naskah-naskah lontar abad ke-16.

Kenyataan ini sekaligus memperlihatkan kreativitas masyarakat Sunda dalam kegiatan menulis. Penggunaan aksara tersebut dinilai cukup lama karena sampai pertengahan abad ke-18 masih digunakan dalam menulis naskah Waruga Guru.

***

SELAIN aksara Jawa kuna sebagaimana dijumpai pada Prasasti Cibadak atau Sanghyang Tapak dan Prasasti Huludayeuh dan Batutulis, dengan masuknya Islam, maka masyarakat Sunda mulai mengenal aksara Arab dan aksara Arab Pegon yang biasa digunakan untuk teks berbahasa Sunda atau Jawa.

Dalam naskah-naskah Sunda, aksara Pegon memakai tanda vokalisasi. Jika ada naskah Sunda yang beraksara Pegon atau aksara Arab tanpa vokalisasi, aksara itu disebut aksara Gundil atau aksara Arab Gundul.

Masyarakat Sunda makin melupakan aksara yang diciptakan nenek moyangnya sendiri dengan digunakannya aksara Cacarakan. Aksara yang diadopsi dari aksara Jawa modern yang biasa disebut carakan itu oleh Coolsma (1904) disebut aksara Sunda-Jawa.

Model aksara tersebut pada mulanya diusahakan oleh Grashuis pada tahun 1860 yang membuat pedoman menuliskan bahasa Sunda dengan aksara carakan dalam bukunya Handleiding voor het Aanleren van het Soendaneesch Letterschrift. Dengan demikian, sejak itu yang disebut aksara Sunda tidak lain adalah dari model aksara Carakan Jawa yang terdiri dari 18 buah aksara ngalagena karena dalam tatafenom bahasa Sunda tidak dibedakan antara lambang bunyi da dengan dha dan ta dengan tha.

Tahun 1927, R Djajadiredja menyusun ejaan bahasa Sunda dengan aksara Cacarakan yang kemudian diikuti dengan buku pedoman khusus untuk Sekolah Rendah (SR) yang disusun Soeria Di Radja dengan judul Tjatjarakan dan dicetak di Groningen-Batavia: JB Wolters Uitgeversmaatschappij NV tahun 1930 lalu disusul cetakan kedua pada tahun 1948. Pada tahun 1935 terbit sebuah buku bacaan Langensari karya Rd Rangga Sastraatmadja, Soeria Di Radja dan Raden Kanduruwan Soerapoetra.

Masyarakat Sunda memasuki babak baru dengan dikenalnya aksara Latin yang masuk bersamaan dengan kehadiran bangsa Belanda dan bangsa-bangsa Eropa lainnya pada abad ke-16. Sekitar satu abad kemudian, aksara Latin mulai digunakan dengan aksara Arab Gundul dan aksara Cacarakan sebagaimana terdapat dalam Surat Keputusan Kompeni dan para penguasa di Cirebon pada tanggal 3 November 1705 dan 9 Februari 1706.

Aksara Sunda kuna yang terlupakan selama lebih dari sepuluh abad, barulah memperoleh pengukuhan sebagai warisan nenek moyang masyarakat Sunda pada pertengahan tahun 1999 setelah sebelumnya melewati dua kali diskusi panjang pada tahun 1997.

Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah No 6 Tahun 1996 tentang Pelestarian, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra dan Aksara Sunda antara lain disebutkan, aksara Sunda adalah sistem ortografi hasil kreasi masyarakat Jawa Barat yang meliputi aksara dan sistem pengaksaraannya untuk menuliskan bahasa Sunda. Sedangkan salah satu fungsinya antara lain sebagai lambang jati diri dan kebanggaan daerah. (Her Suganda)
.
Quote:Huruf Asli di Indonesia Masa Kini

Oleh: Dick van der Meij

Huruf asli di Indonesia dewasa ini sudah jarang dipakai. Di kebanyakan daerah di Indonesia, huruf-huruf asli itu bahkan sudah terancam punah.

Huruf asli yang dimaksud di sini adalah huruf non- Latin, seperti aksara Jawa dan Bali, Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan, huruf Batak, dan—tentu saja—huruf Jawi dan Pegon.

Huruf Jawi, yang juga sering disebutkan aksara Arab gundul atau Melayu gundul, dipakai untuk bahasa Melayu, Minangkabau, dan Aceh. Adapun huruf Pegon adalah huruf berbasis huruf Arab yang dipakai untuk bahasa Jawa dan Sunda, khususnya untuk teks-teks tentang Islam. Itu tidak berarti bahwa dahulu aksara Jawa tidak dipakai untuk teks Jawa yang membahas hal ikhwal Islam seperti sekarang sering disangka orang Jawa maupun orang Indonesia lainnya.

Dan memang, kalau kita ke toko buku modern di mana saja di Indonesia, buku dalam huruf asli mana saja jarang sekali ditemukan. Untuk seorang pengamat asing seperti penulis, menyaksikan orang Indonesia umumnya, seolah-olah dengan sangat mudah, meninggalkan huruf asli mereka sangat mengherankan.

Saya sering mendengar pengakuan bahwa orang Jawa pada umumnya menganggap sangat sulit belajar aksara Jawa. Padahal, orang Jawa yang beragama Islam rata-rata menguasai dua jenis sistem penulisan, yaitu huruf Latin dan huruf Arab.

Rupanya rasa segan untuk belajar aksara Jawa itu sangat dalam, dan saya belum menemukan alasan sebenarnya kenapa aversi terhadap aksara Jawa itu timbul dan bertahan. Mungkin saja itu karena aksara hanacaraka tetap merujuk pada suatu masa sejarah peradaban Jawa, yang sudah ditinggalkan dalam zaman modern ini. Anehnya, banyak di antara mereka menyatakan senang mempelajari aksara Jawa di sekolah waktu masih kecil.

Aksara Jawa

Memang perdebatan apakah huruf Jawa pantas atau lazim dipakai untuk menulis hal-hal yang modern sudah cukup lama didiskusikan. Dalam majalah Djåwå tahun 1927, misalnya, dapat dibaca perdebatan itu dalam laporan mengenai Kongres Bahasa Jawa yang diadakan pada 25-27 Maret 1927.

Ketika itu muncul diskusi yang cukup hangat antara orang yang ingin mempertahankan pemakaian aksara Jawa dan mereka yang ingin meninggalkannya dan menggantikannya dengan huruf Latin. Keadaan zaman sekarang membuktikan bahwa kubu yang menghendaki aksara Jawa ditinggalkan rupanya yang menang.

Di toko buku di Yogyakarta dan Jawa pada umumnya sulit sekali menemukan buku yang dicetak dalam huruf Jawa. Ternyata aksara hanacaraka itu boleh dikatakan sudah mulai punah. Dewasa ini, orang yang masih bisa membacanya—apalagi menulisnya—sulit ditemukan, terlebih di kalangan orang muda.

Kalaupun orang ingin membeli buku yang ditulis dalam aksara hanacaraka, tidak ada gunanya mencarinya di toko buku besar seperti Gramedia atau Periplus. Untuk menemukan buku-buku beraksara hanacaraka yang umumnya dicetak pada zaman penjajahan Belanda itu orang perlu mencarinya ke shopping centre, pusat pertokoan buku baru dan lama di Yogyakarta.

Di luar itu, salah satu bekas adanya huruf hanacaraka di Jawa Tengah adalah penulisan nama jalan yang memang menggunakan huruf Latin dan aksara Jawa walaupun huruf Latin dicetak lebih besar dibanding aksara Jawa.

Sedikit berbeda dengan kasus aksara Bali di Bali. Di sini aksara Bali masih cukup dikenal karena ada hubungan erat dengan kebudayaan dan agama Hindu- Bali. Aksara Bali memiliki peranan penting dalam kehidupan berfilsafat dan beragama di Pulau Dewata.

Buku cetakan yang memakai aksara Bali gampang ditemukan di toko buku di seluruh Bali. Apalagi kini aksara Bali sudah ”memasuki” zaman modern dengan adanya software yang memungkinkan mencetak aksara Bali dengan komputer, dan hasil cetakannya dapat dibeli di toko buku.

Adapun di Lombok, di seberang Pulau Bali, huruf Jejawen atau aksara Jawa corak Sasak sekarang sudah jarang dipakai. Bahkan, buku cetakan yang menggunakan huruf itu sama sekali tidak pernah saya temukan. Di Madura sama halnya.

Huruf Jawi

Lalu, bagaimana nasib huruf Jawi dan Pegon? Apakah huruf itu masih dipakai sampai sekarang atau nasibnya sama dengan aksara hanacaraka di Jawa dan Madura?

Kalau kita berjalan ke Riau dan Riau Kepulauan, huruf Jawi juga digunakan pada papan nama jalan, selain huruf Latin. Seperti halnya di kasus aksara hanacara di Jawa, di sini pun penggunaan huruf Latin untuk nama jalan lebih besar daripada huruf Jawi.

Lain dengan di Jawa, di Riau masih dapat dibeli buku yang ditulis dalam huruf Jawi walaupun jumlahnya juga tidak terlalu banyak. Buku itu kebanyakan berisi hal-hal yang berkaitan dengan agama Islam. Buku sastra belum saya temukan selama perjalanan saya ke Pulau Bintan dan Batam.

Jenis buku yang paling banyak dapat dibeli di pulau itu adalah buku saku berisi peraturan tentang perilaku agama Islam, seperti Majmu’ Syarif Shofa Marwah. Buku dalam format lebih besar juga ada, seperti Wahyu al-Minbar, Fasalatan, Majmu’ah Maulud Sharaf al-Anam, Majmu’ah Mawalud wa Ad’iyyah, dan Sir as-Salikin.

Memang, di Tanjung Pinang saya juga sempat membeli kamus Arab-Melayu karangan Syeikh Muhammad Idris al-Marbawi dari Perak yang dicetak di Indonesia dalam huruf Arab dan Jawi. Buku-buku ini memang dijual, tetapi belum tentu penjual bisa membacanya! Tentu saja buku itu juga dapat dibeli di sana-sini di toko buku Islam di Jakarta dan kota-kota besar lainnya.

Di Yogyakarta, buku yang memakai huruf Jawi atau Pegon dapat dibeli di pinggir jalan atau kios di sebelah Pasar Beringharjo. Kebetulan orang Jawa yang menjual buku itu memang sangat mahir membacanya. Sayang, jumlah buku berhuruf Pegon sangat sedikit.

Rupanya buku itu hanya dijual kepada orang yang ingin memperkuat rasa Jawa-Islamnya dengan terjun ke dalam agama Islam dengan memakai bahasa Jawa dan huruf Pegon. Yang sangat menarik, di antara buku yang dijual di Pasar Beringharjo terdapat Al Quran dengan terjemahan dalam bahasa Jawa yang dijual secara jilidan: juz per juz.

Jadi, apakah huruf asli akan hilang dari Nusantara? Saya kira masih ada usaha untuk melestarikan sistem penulisan dari zaman dahulu kala tersebut.

Di Sunda, misalnya, konon ada sebuah pesantren yang mulai lagi mencetak kitab kuning dengan memakai bahasa Sunda berhuruf Pegon. Langkah semacam itu memang penting. Kalau huruf asli tidak dikenal lagi, siapakah yang akan bisa menggarap khazanah naskah lama yang ditulis dalam berjenis-jenis huruf dan aksara Nusantara?

Dick van der Meij Filolog dari Leiden, Belanda. Saat Ini Guru Besar Tamu di UIN Jakarta dan research fellow di CSRC UIN Jakarta



Tidak ada komentar:

Entri Populer