Banner

Total Tayangan Halaman

Translate

Jumat, 05 Maret 2010

Wayang Golek Cepak Khas Indramayu Nyaris Punah

Wayang Golek Cepak Khas Indramayu Nyaris Punah [Nusantara]Wayang Golek Cepak Khas Indramayu Nyaris Punah

Indramayu, Pelita
Upaya pelestarian kesenian khas daerah harus benar-benar dilakukan bila tidak ingin hilang tertelan jaman, sehingga menjadi kewajiban kita semua baik pemerintah maupun masyarakat khususnya di daerah tersebut.
Akan sangat disayangkan bila sebuah kesenian khas daerah tertentu menjadi hilang karena ditinggalkan orang. Itu berarti sebagai tanda hilangnya salah satu kepribadian daerah tersebut. Imbasnya, kepribadian bangsapun menjadi makin terkikis.
Salah satu kesenian khas daerah Indramayu yang kini terancam punah adalah Wayang Golek Cepak. Dikatakan demikian karena upaya pelestarian kesenian ini kurang diperhatikan oleh dinas instansi terkait.
Kondisi ini makin mengkhawatirkan karena Sang Dalang, Ahmadi, generasi kelima dan pewaris terakhir kesenian ini belum berhasil menularkannya kepada generasi berikutnya. Padahal di masa lalu, kesenian ini pernah ikut mengharumkan nama Indonesia di pentas seni internasional yang diselenggarakan di negeri Jepang.
Menurut Ahmadi, kesenian Wayang Golek Cepak bisa menjadi sarana sosialisasi kepada masyarakat terkait dengan sejarah daerah tertentu. Alur cerita yang sering dipentaskan merupakan alur sejarah berdirinya sebuah daerah.
Walaupun disisipi cerita Carangan disana-sini dengan maksud supaya lebih menarik, pentas seni Wayang Golek Cepak sangat pas untuk menyampaikan cerita sejarah masa lalu dengan mengambil nama para tokohnya karena bisa lebih hidup dan fleksibel.
Tidak seperti Wayang Golek Purwa yang alur ceritanya sangat terikat dengan Pakem cerita yang sudah ada seperti kisah Rama Shinta, Mahabrata dan sebagainya yang hanya menuturkan kisah dunia pewayangan konvensional dan nama-nama tokohnyapun telah diketahui orang, tutur Ahmadi.
Ahmadi mengharapkan bantuan dari para pihak terkait khususnya Pemkab Indramayu melalui Dinas Pemuda, Olah raga, Budaya dan Pariwisata agar melakukan langkah-langkah konkret untuk melestarikan kesenian ini, misalnya dengan memasukan ke kurikulum atau ekstrakurikuler di Dinas Pendidikan sehingga akan menjadi sebuah obyek mata pelajaran khusus yang bisa diambil oleh para siswa.
Sebagai putra daerah, kami ingin seni khas daerah ini diangkat dalam bentuk desain yang berguna bagi daerah Indramayu mengingat perannya yang cukup penting dalam menyampaikan pesan moral kepada masyarakat.
Minimnya minat generasi muda untuk belajar kesenian wayang menjadi ancaman serius punahnya kesenian ini. Padahal wayang golek cepak memiliki sejarah yang sangat berarti karena selain bisa menceritakan tentang kisah babad Dermayu, wayang golek cepak merupakan sejarah awal pembentukan topeng Indramayu, tandas Ahmadi. (ck-106)

Sejarah Batik

Batik Surya, atau Batik Indramayu seringkali disebut juga Batik Dermayon, dan lebih dikenal lagi dengan sebutan Batik Paoman. Batik ini tergolong batik pesisir. Di Indonesia Batik Pesisir yang juga terkenal adalah Batik Pekalongan, Batik Cirebon dan Batik Madura.

Batik Surya, termasuk Batik Tradisional Indramayu yang memiliki ciri khas tersendiri. Corak-coraknya yang khas itu tidak dapat dijumpai pada batik di daerah lain. Kalaupun ada kesamaan dalam hal ragam dan hiasnya di batik daerah lain, gaya serta pewarnaanya pada Batik Surya Indramayu tetaplah berbeda. Hal ini dikarenakan kentalnya pengaruh budaya baik yang datang dari luar, juga dikarenakan kekayaan budaya daerah Indramayu sendiri serta kentalnya unsur kepercayaan, pengaruh lingkungan dan adat istiadat.

Dalam hal motif dan warna batik, nyata sekali perbedaannya antara batik klasik Indramayu dengan batik klasik Cirebon (Batik Trusmi) dan Madura (batik Sumenep). Batik Surya Paoman Indramayu, banyak dipengaruhi oleh perkembangan batik di daerah Pesisir Utara Jawa Tengah seperti; Lasem. Sedangkan Batik Trusmi Cirebon mendapat pengaruh besar dari daerah pedalaman Jawa Tengah seperti Daerah Pengging dan Solo.

Dalam sejarahnya pembuatan Batik Klasik Indramayu diperkirakan telah berlangsung lama, yaitu sekitar abad ke 13-14 dimana Pelabuhan Cimanuk menjadi satu-satunya pelabuhan terbesar di Pulau Jawa dan Asia, semasa jayanya Kerajaan Manuk Rawa di Muara Cimanuk. Saat itu perdagangan dari berbagai bangsa di dunia terjadi di Pelabuhan Muara Cimanuk. Selanjutnya Diramaikan kembali di masa kerajaan Demak (tahun 1527). Karena saat itu banyak pengrajin dari Lasem yang hijrah ke Indramayu. Oleh karena itu tidaklah heran jika Batik Paoman Indramayu ada yang hampir sama motifnya dengan motif batik Lasem yang didalamnya sudah dipengaruhi pula oleh Batik Cina. Meskipun begitu batik dari Jawa Tengah ini masuk ke Indramayu melalui perantara pedagang-pedagang yang mondar-mandir antara Jepara dan Banten.

Sementara itu dalam catatan sejarah Pulau Jawa dijelaskan bahwa Ki gede Trusmi dan Ki Gede Pengging (Kebo Kenanga) adalah murid Syekh Lemahabang alias Syeh Siti Jenar. Dimungkinkan banyak orang-orang dari Pengging-Solo yang hijrah ke Trusmi dan dari sana mereka mengembangkan industri batik hingga sekarang.

Dengan demikian dapat dipastikan bahwa industri batik di Indramayu sudah berkembang sejak zaman Kerajaan Manukrawa, Majapahit, Demak, sedangkan di Cirebon (trusmi), baru berkembang pada zaman Kerajaan Pajang. Mungkin pula orang-orang dari negeri Pajang yang runtuh di tahun 1585 banyak warganya yang hijrah ke trusmi dan disana kemudian mengembangakan industri batik Trusmi.
Meski Batik Indramayu dikenal sebagai batik klasik dan usia perkembangannya telah beratus tahun, tetaplah menghormati perkembangan batik di Cirebon. Hal ini dikarenakan pengaruh Keraton di Cirebon meski telah memasuki jaman merdeka, tetap berpengaruh besar pada perkembangan dan motif yang ada. Wajar jika batik Paoman Indramayu lebih kaya motfnya ketimbang Batik Cirebon. Namun karena Motif Batik Indramayu belum melakukan penertiban hask cipta banyak pula motif-motif yang berasal dari Indramayu diakui oleh pembatik luar.

Namun harus kita akui bahwa daerah Cirebon dan Indramayu sama-sama merupakan kota pelabuhan dan kota perdagangan dengan letak geografis yang berdekatan. Wajar saja jika ke dua daerah ini saling mempengaruhi dengan ragam hias batik yang tak terelakkan keindahan dan ragamnya.

Yang menarik dari dua daerah tersebut masing-masing memiliki corak yang satu sama lainnya berbeda. Meskipun kadang ada juga persamaannya. Ciri ragam hias Batik Indramayu adalah ungkapan rupa yang datar, lugas, sederhana dan tidak mengandung makna simbolis. Sedangkan pada ragam hias batik Cirebon kebanyakan berdasarkan makna perlambangan, aturan tertentu, pola penggambaran persfektif seperti lukisan, karakter garis halus dan detil. Warna khas kuning Cirebon.

Ragam hias batik Indramayu merupakan ciri pesisiran sedangkan ragam hias Batik Cirebon tidak bisa sepenuhnya dikatakan pesisiran, karena latar budayanya keratonnya sangat dominan. Indramayu sebagai kota pelabuhan dan kota para pedagang dan nelayan yang semenjak dulu mempertemukan para penjual dan pembeli, barang-barang seperti keramik, sutra Cina, yang waktu itu bermaksud memperkenalkan pada masyarakat Indramayu keindahan ragam hias dari negeri Cina dan negeri Asia juga Eropa.

Bermukimnya masyarakat Cina di Indramayu semenjak zaman dahulu, telah menciptakan interaksi sosial budaya yang harmonis dengan penduduk lokal. Hal ini dapat dilihat dari perpaduan dan ragam hias Batik Surya, Paoman Indramayu, atau batik tradisi dengan hudaya Cina. Kain-kain Batik Surya Indramayu pada dasarnya tidak memiliki trasdisi pencantuman nama atau tanda tangan si pengrajin dan si pengusaha. Lain hal-nya dengan Kain Batik Pekalongan seperti Batik Belanda dan Cina yang nama perancangnya dicantumkan, misalnya Batik Van Zulyen. Dengan tidak adanya pencantuman nama tersebut, pencarian secara akurat siapa pembuat atau pemilik kain batik tersebut selalu saja menemui kesulitan. Oleh karena itulah daerah pecinan yang berlokasi sepanjang tepi timur Sungai Cimanuk menjadi tempat tinggal turun temurun masyarakat Cina di Indramayu menjadi salah satu sumber data sejarah perkembangan batik dan pengaruh Budaya Cina Indramayu.***

Sejarah Indramayu

Dari Buku SISI GELAP SEJARAH INDRAMAYU

Kabupaten Indramayu yang termasuk wilayah Provinsi Jawa Barat, dengan wilayah darat 20.006,4 km2 merupakan wilayah yang cukup luas. Sumberdaya alamnya dari laut, sawah, dan hutan. Secara historis, selama ini Indramayu menyatakan diri memiliki akar sejarah dari Jawa Tengah (Bagelen) melalui tokoh Arya Wiralodra. Dalam beberapa sumber, ada yang menyebut tokoh ini utusan Demak (abad ke-16), ada pula yang menyebut Mataram (abad ke-17). Akar sejarah itulah yang menjadikan Indramayu bukanlah wilayah Sunda, meskipun berada di Jawa Barat yang mayoritas dihuni suku Sunda dan berbahasa Sunda. Meski demikian, perkembangan selanjutnya menunjukkan Indramayu juga tidak serupa dengan realitas sosio-kultur Jawa Tengah. Ada semacam sosio-kultur tersendiri yang “bukan Jawa” dan “bukan pula Sunda”. Bagi orang Indramayu, menyebut orang Jawa Tengah adalah “wong wetan”, sedangkan orang Pasundan adalah “wong gunung”. Sosio-kultur Indramayu itu menunjukkan karakter yang sebangun dengan Cirebon.
Secara akar sejarah pula, beberapa daerah di Indramayu berkaitan dan banyak dipengaruhi kerajaan lain di sekitarnya, seperti Cirebon dan Sumedanglarang. Jika yang disebut wilayah kekuasaan Wiralodra sebagai Kabupaten Indramayu seperti sekarang, tampaknya harus ditelisik lebih dalam. Ketika dinasti Wiralodra berkuasa hingga pertengahan abad ke-19, peristiwa politik dan keagamaan di Pulau Jawa sangat dinamis. Dimulai dari runtuhnya Majapahit sebagai simbol kebesaran agama Hindu pada tahun 1527, dinamika itu tampak dengan kemunculan kerajaan Islam, Demak, yang mampu berpengaruh pada Cirebon dan Banten, serta dikuasainya Sundakelapa dari Pajajaran. Simbol kebesaran Hindu lainnya dalam diri Pajajaran pun runtuh juga. Gegap politik dan kekuasaan seperti itu sedikit banyak, tentu saja, memiliki pengaruh yang kuat pada Cimanuk (Indramayu) sebagai wilayah kecil yang berada pada pusaran dinamika itu. Berakhirnya era Hindu dan bangkitnya Islam juga menyentuh kehidupan sosio-religi di wilayah tersebut. Ketika Mataram menguasai Jawa Barat selama 57 tahun (1620-1677), pengaruh kekuasaan itu sangat jelas pada daerah-daerah yang sekarang bernama Ciamis, Tasikmalaya, Sumedang, Bandung, Cirebon, dan beberapa lainnya sebagai wilayah imperium Mataram.
Ketika Wiralodra dianggap sebagai pendiri Kabupaten Indramayu dan 7 Oktober 1527 sebagai hari kelahiran Indramayu, legitimasi itu dilakukan pada era kekinian, yakni berdasarkan Perda No. 02/1977 tanggal 24 Juni 1977. Nama Indramayu sebagai wilayah kabupaten, sebenarnya berasal dari nama wilayah kecamatan yang berada di kota (Sindang – Kota Indramayu), titik sentral kekuasaan dinasti Wiralodra. Menurut Babad Dermayu yang ditulis tahun 1900, beberapa keturunan Wiralodra menjabat beberapa jabatan penting di beberapa wilayah sebagai demang maupun rangga, misalnya Raden Marngali Wirakusuma (Demang Bebersindang, mungkin maksudnya Sindang), Nyayu Wiradibrata (rangga), Nyayu Malayakusuma (Demang Plumbon), Nyayu Hekakusuma (Demang Anjatan), Nyayu Suradisastra (ulu-ulu), Nyayu Hanjani (mantri tanah), Raden Kalid Wiradaksana (Demang Lohbener), Raden Prawiradirja (Demang Losari), Raden Wirasentika (Demang Lohbener), Nyayu Sastrakusuma (Jututulis Demang Brengenyeber), Nyayu Patimah (Demang Lelea), Raden Wirasaputra (demang).
Klaim bahwa nama wilayah sekabupaten dengan nama Indramayu, sebenarnya dilakukan pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-19, seperti dalam Regerings Almanak voor Nederlands Indie 1869 untuk menetapkan seorang bupati dengan wilayah kabupaten. Pendapat ini sejalan dengan Dasuki (1977):

Kalau yang dimaksud dengan daerah Dermayu dalam babad itu adalah suatu tempat yang sekarang merupakan lokasi desa Dermayu, mungkin ada benarnya. Akan tetapi kalau yang dimaksud dengan daerah Indramayu ialah daerah yang sekarang merupakan daerah jurisdiksi Indramayu, sudah pasti tidak benar, sebab bertentangan dengan pemberitaan dari beberapa sumber lain yang menyatakan bahwa sebelum Wiralodra datang ke daerah Indramayu, di beberapa bagian daerah ini sudah ada manusia yang berbudaya.

Yang terjadi pada era dinasti Wiralodra, Indramayu cenderung identik pada wilayah yang sekarang disebut sekitar Sindang, Kota Indramayu, hingga Lohbener. Pada kurun waktu sebelumnya atau bersamaan, wilayah lain memiliki nama yang berbeda, dengan tokoh pendiri (Ki Gede) yang berbeda pula. Beberapa hal bisa menjadi argumentasi bahwa Kabupaten Indramayu bukanlah “Dermayu”-nya Wiralodra, dulu. Naskah Wangsakerta menguraikan tentang mazhab-mazhab dalam Islam yang berkembang di Pulau Jawa, termasuk wilayah Cirebon dan Indramayu seperti dituliskan dalam Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara, parwa 2 sargah 4. Beberapa Ki Gedeng (Ki Gede) dari Indramayu ada yang dikategorikan menganut mazhab Syafi’i, tetapi ada pula yang Syi’ah yang diajarkan Syeh Lemahabang. Penganut mazhab Syafi’i adalah Ki Gedeng Krangkeng, Ki Gedeng Dermayu, Ki Buyut Karangamapel, Pangeran Losarang, Ki Gedeng Srengseng, dan Ki Gedeng Pekandangan, sedangkan mazhab Syi’ah dianut oleh Ki Gedeng Junti. Data seperti itu bukan hanya menyiratkan tentang perkembangan mazhab dalam Islam yang dianut para tokoh masyarakat (Ki Gedeng, Ki Buyut) di Indramayu, akan tetapi lebih dari itu menyiratkan adanya deskripsi kesejajaran tokoh-tokoh tersebut. Penyebutan nama-nama Ki Gedeng atau Ki Buyut di enam daerah tersebut tampak memiliki derajat yang sama. Antara Krangkeng, Dermayu, Karang Ampel, Srengseng, Pekandangan, dan Junti tidak ada hirarkis. Hal itu bisa diinterprestasikan di wilayah-wilayah tersebut dipimpin oleh Ki Gedeng atau Ki Buyut secara otonom dan tidak menginduk pada Ki Gedeng atau Ki Buyut di sekitarnya. Ki Gedeng Dermayu tidak membawahi Ki Gedeng Krangkeng, Karang Ampel, Srengseng, Pekandangan, dan Junti, tetapi berdiri sejajar. Acuan kurun waktunya adalah masa hidup Sunan Gunungjati dan Syeh Lemahabang (abad ke-16).
Sebelumnya kesejajaran itu tampak pada cerita Ciungwanara pada zaman Pajajaran yang menyebut-nyebut nama Indramayu, Junti, Anjatan, dan Kandanghaur, seperti dalam Waosan Babad Galuh (Serengrana, 1280 H). Naskah lain pada zaman Pajajaran menyiratkan adanya tokoh lain dan wilayah lain di Indramayu yang sudah disebut keberadaannya sejak abad ke-15, seperti dalam buku Sunan Rahmat Suci Godog (Deddy Effendy-Warjita, 2006). Disebut-sebut nama Raden Khalipah Kandangaur yang bersahabat dengan Kean Santang (putra Prabu Sri Baduga Maharaja dengan Subang Larang). Kean Santang adalah adik Pangeran Walangsungsang (Cakrabuana) dan Nyi Mas Rarasantang (ibunda Sunan Gunungjati).
Pengaruh Sunan Gunungjati, baik secara religi dan sosio-politik, amat kuat pada hampir seluruh tokoh (Ki Gede) dari desa-desa kuna di Indramayu. Sekitar 70 Ki Gede, dari Sukra hingga Kertasemaya, dari Bantarwaru hingga Singakerta, dimakamkan di sekitar makam Sunan Gunungjati di Nur Giri Ciptarengga, Gunung Sembung, Cirebon (Bambang Irianto, makalah 2007). Adanya makam Habib Keling di Desa Tanjakan Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu menjadi catatan tersendiri, apakah Habib Keling identik dengan Dipati Keling. Jika ya, menegaskan lagi adanya relasi itu, sebab Dipati Keling merupakan sahabat Sunan Gunungjati yang ikut serta dalam penyerangan ke Batavia tahun 1526. Ia salah seorang komandan, di samping beberapa komandan lainnya seperti Dipati Cerbon, Dipati Cangkuang, dan Faletehan. Sebelumnya Dipati Keling bersama 98 pengikutnya menyatakan masuk Islam dan bergabung bersama Sunan Gungjati. Diperkirakan, Dipati Keling berasal dari India, karena kulitnya hitam seperti orang Keling (Sunardjo 1983: 53,81). Sangat mungkin, yang dimaksud makam tersebut adalah petilasan, sebab makam Dipati Keling terdapat di Astana Gunungjati Cirebon berdekatan dengan Sunan Gunung Jati. Jejak lain di Indramayu yakni adanya makam Pangeran Suryanegara yang terdapat di Desa Bulak Kecamatan Jatibarang dan memiliki keturunan di Indramayu (Raffan S. Hasyim, makalah 2007). Suryanegara adalah adik bungsu Dipati Cerbon I atau Pangeran Swarga (putra Pangeran Pasarean dengan Ratu Mas Nyawa).
Latar tersebut merupakan dinamika penyebaran Islam yang dilakukan Sunan Gunungjati dan para pengikutnya, baik ke pegunungan maupun ke pesisir. Naskah Purwaka Caruban Nagari menyebutkan wilayah pesisir tersebut hingga ke pedalaman Karawang dan Dermayu. Saat Sunan Gunungjati bertahta, jangkauan Cirebon dalam penyebaran Islam mencapai 2/3 daerah di Jawa Barat.
Jejak-jejak Cirebon secara sosio-kultural di beberapa desa yang ada di tiga kecamatan (Krangkeng, Karangampel, Juntinyuat) hingga kini masih terasa. Yang paling kentara adalah dalam penggunaan kosakata isun (saya) masih tetap dipergunakan (terutama di beberapa desa di Kecamatan Krangkeng, perbatasan Kabupaten Cirebon-Indramayu) dibandingkan penggunaan reang atau kita sebagaimana digunakan secara umum di wilayah kecamatan lainnya. Begitu pula penggunaan kata tunjuk untuk menunjukkan yang jauh, agak dekat, dan dekat, masih tetap menggunakan lah, lih, dan luh. Bukan kah, kih, dan kuh. Pamakaian kosakata seperti itu serupa yang dipakai di Cirebon.
Dalam buku ”Mengenal Kasultanan Kasepuhan Cirebon” (2004) malah ditegaskan, pada abad ke-14 batas pemukiman baru di Lemahwungkuk (cikal bakal Caruban/Cirebon) yang dipimpin Ki Gede Alang-alang yang diangkat Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi adalah Kali Cipamali (sebelah timur), Cigugur Kuningan (sebelah selatan), pegunungan Kromong (sebelah barat), dan Junti (sebelah utara).
Akan halnya Junti, daerah ini disebut-sebut dalam cerita tradisional Cirebon dalam episode kedatangan Dampu Awang, seorang pedagang dari Cina yang beragama Islam. Tokoh ini identik dengan Sam Po Kong atau Sam Po Toa Lang atau Sam Po Toa Jin atau Sam Po Bo (P.S. Sulendraningrat, 1975; H.A. Dasuki, 1977). Dalam perjalanan di Pulau Jawa, Dampu Awang tertarik putri Ki Gedeng Junti, tetapi cintanya itu bertepuk sebelah tangan. Ia memaksa. Ki Gedeng Junti menolak halus lamarannya, kemudian membuat strategi dengan mengadakan sayembara. Jika Dampu Awang mampu merobohkan bambu ori yang tebalnya dua meter dan tingginya tiga meter yang mengelilingi rumah Ki Gedeng Junti dalam waktu satu malam, lamaran itu akan diterima. Dampu Awang menggunakan akalnya. Ia umumkan kepada rakyat untuk menaburkan emas di tembok bambu itu. Rakyat berebut emas dengan berbagai cara. Pagar bambu pun porak-poranda. Ki Gedeng Junti dan putrinya menolak tipu muslihat ini, lalu lari dan meminta perlindungan Syeh Bentong, seorang wali di Kesenden Cirebon. Dampu Awang mengejar dan bentrok dengan Syeh Bentong. Dampu Awang kalah, lalu lari ke Palembang. Syeh Bentong menikah dengan Putri Junti, selanjutnya rakyat Junti memeluk agama Islam mengikuti ajaran Syeh Bentong.
Kronologis dalam cerita babad seperti itu tampaknya terjadi di mana-mana. Ada tema cinta ditolak, strategi menolak lamaran secara halus, dan waktu semalam sebagai syarat lamaran diterima. Pada legenda Sangkuriang-Dayang Sumbi juga demikian. Syarat cinta diterima itu adalah agar dibuatkan sebuah perahu dalam waktu semalam. Begitu pula Roro Jonggrang yang minta dibuatkan seribu candi dalam waktu semalam.
Perspektif lain tentang Dampu Awang ini tidak menyentuh sama sekali daerah Junti. Tahun 1418 Dampu Awang (mungkin nama aslinya Ma Huang) bersama istrinya, Nhay Rara Ruda (kakak perempuan Ki Gedeng Tapa) bersama-sama pula Nhay Aci Putih dan Nhay Subang Larang pergi berlayar dari negeri Singapura (nama salah satu negeri di Cirebon) ke Malaka. Apakah bertolak dari Celangcang atau Muara Bondet atau dari Muara Jati, tidak jelas. Menurut cerita rakyat, Celangcang adalah pelabuhan zaman dahulu, yang namanya berasal dari kata nyangcang, artinya mengikat atau menambat perahu. Yang ditambat adalah perahu Dampu Awang, karena lebih besar dibanding perahu-perahu lainnya (Sunardjo, 1983).
Jejak Indramayu secara geografis memang hanya diketemukan pada naskah-naskah dengan derajat sebagai sumber sekunder, seperti sumber-sumber di atas, kecuali Regerings Almanak voor Nederlands Indie 1869. Hal ini bisa jadi merupakan sebuah fenomena kelangkaan sumber primer, karena “terjepit”-nya masa-masa dinamis itu. Penulis sejarah Jawa Hindu yang telah silam umumnya sudah berhenti menulis, jauh sebelum sampai pada tokoh Senopati; sedangkan ahli sejarah Kompeni hampir tidak menyadari bahwa para pahlawan negerinya telah mengganggu perkembangan suatu kerajaan Jawa yang perkasa.

Abad XVI menjadi anak tiri yang terlantar dalam sejarah Jawa, terhimpit antara dua bidang penelitian yang besar dan banyak tuntutannya: arkeologi Jawa dan sejarah kolonial. Ahli sejarah Islam yang mendalami sejarah kerajaan Islam, menjauhi masalah yang menarik itu. Ahli sejarah Jawa lebih tertarik pada sejarah tertulis yang lebih tua daripada masa Mataram Baru. Hanya beberapa orang saja, seperti Brandes dan Rouffaer yang mendalami satu dua masalah dari masa yang gelap ini (H.J. de Graff, cet.kedua, 1987).

Meski dalam historiografi tradisional menyebutkan nama Dermayu mulai digunakan sejak abad ke-16 atau ke-17, siapa sangka jika sebagian wilayahnya (sebelah timur sungai Cimanuk) pada jaman pemerintahan Belanda abad ke-19, nama yang muncul adalah Bengawan wettan, salah satu dari lima keregenan (regentschappen) di bawah Keresidenan Cheribon, selain Kereganan Cheribon, Madja, Galo, dan Koeningan (besluit van commissarissen-general over Nederlandsch-Indie, tanggal 5 Januari 1819). Keregenan Bengawan wettan meliputi sungai Singapura, dari muara sungai di laut ke arah atas sampai jalan pos di Desa Jamblang, jalan ini ke barat sampai sungai Cimanuk di penyebrangan di Karangsambung, selanjutnya sungai Cimanuk ini sampai muaranya ke laut.
Peristiwa “Pemberontakan Bagus Rangin” di sekitar Bantarjati-Jatitujuh pada awal abad ke-19 agaknya menyiratkan wilayah tersebut sebagai bagian Kabupaten Indramayu (Bengawan wettan).
Jika dilihat pada era kekinian, sebenarnya wilayah Indramayu sekarang selain bertambah, sebenarnya juga berkurang. Di bagian tenggara Kabupaten Indramayu, sekitar perbatasan Kecamatan Bangodua, beberapa desa bukan lagi milik Indramayu. Dulu, konon Kecamatan Jatitujuh dan sekitarnya pernah masuk dalam wilayah Kabupaten Indramayu. Kini di wilayah perbatasan kultural Sunda-Jawa itu sudah masuk Kabupaten Majalengka. Tidak heran jika hubungan emosional desa-desa di sekitar itu tetap ada. Ragam budaya, seperti jenis kesenian dan adat-istiadat pun menampakkan kecenderungan yang seragam. Tarling, topeng, wayang kulit –yang merupakan jenis kesenian Jawa-pesisir Cirebon-Indramayu, biasa dinikmati masyarakat Jatitujuh, yang juga menikmati kesenian Sunda.
Dasuki (1977) menjelaskan setelah tahun 1910 daerah Indramayu sebelah barat sungai Cimanuk dibagi dalam enam kedemangan, yaitu Kedemangan Kandanghaur, Losarang, Pamayahan, Pasekan, Bangodua, Jatitujuh, dan Lelea. Adapun daerah Indramayu sebelah timur Cimanuk dibagi dalam tiga kawedanan yaitu Kawedanan Indramayu, Karangampel, dan Sleman (Jatibarang).
Di wilayah selatan, barat daya hingga barat Kabupaten Indramayu, yang berbatasan langsung dengan wilayah kultural Sunda, pengaruh kebudayaan Sunda sangat kuat. Di sebagian desa di Kecamatan Terisi hingga Haurgeulis dan Gantar, pengaruh itu malah memiliki asal-usul penduduk yang memang berasal dari wilayah Sunda. Komunikasi sosial dan kultural itu terjalin hingga kini menjadi sebuah akulturasi yang nDermayu.
Sebenarnya ada pengaruh kultur lain yang juga amat kuat, yang ada di wilayah barat (seperti di Kecamatan Bongas, Patrol, Sukra, Anjatan, dan Haurgeulis). Pengaruh itu berasal dari pesisir utara-barat Jawa Tengah (Tegal-Brebes). Mungkin lebih tepatnya bukan pengaruh, tetapi lebih sebagai “urbanisasi” awal abad ke-20 melalui jalur kereta api dari Tegal-Brebes ke wilayah barat Indramayu. Penduduk dari wilayah timur Indramayu juga pada kurun waktu yang sama melakukan “urbanisasi” ke barat, seperti dari Krangkeng, Juntinyuat, Sliyeg, Kertasemaya, dan kecamatan lainnya. Saat itu wilayah barat memiliki daya tarik tersendiri, terutama tanah yang masih perawan dan ketersediaan air yang melimpah dengan adanya bendungan yang dibangun pemerintah kolonial Belanda dekade 1920-an. Pengaruh bahasa Jawa dialek Tegal-Brebes dan logat wilayah timur Indramayu masih terasa hingga kini.
Yang menjadi catatan tersendiri adalah wilayah Kecamatan Lelea dan Kandanghaur, yang secara geografis terlalu “jauh” untuk dipengaruhi kultur Sunda. Hingga kini pengaruh Sunda di beberapa desa di dua kecamatan tersebut cukup kuat. Meski dalam beberapa kosa kata tidak sama dengan bahasa Sunda di wilayah Pasundan dan cenderung dianggap kasar, bahasa Sunda tetap digunakan dalam keseharian di wilayah tersebut. Sunda-Lea dan Sunda-Parean (maksudnya bahasa Sunda yang digunakan di Lelea dan Parean/Kandanghaur), menjadi keunikan tersendiri dalam khazanah bahasa Sunda dan bisa jadi merupakan bahasa Sunda sempalan yang hidup di lingkungan Jawa-pesisir. Fenomena ini, tentu saja, bukan terjadi dengan sendirinya. Sesuatu yang ada sekarang, hampir pasti memiliki keterkaitan dengan masa lalu. Masa lalu itu adalah akar sejarah.

Selanjutnya daerah kekuasaan Sumedang di sebelah utara seperti Kandanghaur, Lelea, dan Haurgeulis (Indramayu), dan Sindangkasih (Majalengka) satu demi satu dikuasai kerajaan Islam Cirebon. Dalam menakulukkan daerah Sindangkasih dan Kandanghaur ini banyak berperan dua orang cucu Sunan Gunung Jati: Pangeran Sentana Panjunan dan Pangeran Wira Panjunan. Daerah Galuh dan Sumedang sendiri tetap merdeka sehingga ditundukkan oleh Sultan Agung Mataram yang berhasil menguasai antara Citanduy dan Cisadane pada tahun 1620 (Rokhmin Dahuri, Bambang Irianto, dan Eva Nur Arofah, 2004).


Penjelasan Sumedang pernah menguasai tiga daerah di Indramayu, yakni Kandanghaur, Lelea, dan Haurgeulis setidak-tidaknya tampak pada kultur yang masih lekat hingga kini, yakni bahasa Sunda. Ketika beralih pada kekuasaan Cirebon, ada peninggalan di Kandanghaur yang bisa jadi berasal dari nama seorang pangeran asal Cirebon, yakni nama desa, Wirapanjunan. Kurun waktu kekuasaan Cirebon atas tiga daerah di Indramayu saat Cirebon mencapai puncak kejayaan, sebagaimana dikemukakan R.A. Kern (1973: 21), yang diperkuat F. de Haan (1912: 33-41) bahwa Cirebon telah berhasil melebarkan wilayah kekuasaan dan sekaligus dapat mengislamkan daerah-daerah pedalaman Sunda, seperti Rajagaluh (1528) dan Talaga (1530) (Rokhmin Dahuri, dkk, 2004: 62).
Jangan lupa wilayah sentral Indramayu, tempat dikendalikannya pemerintahan, yakni Kecamatan Indramayu dan Sindang, merupakan lingkungan “keraton” dan “ibukota” yang dibangun Wiralodra. Wilayah yang secara arkeologis cenderung sebagai kota pemerintahan bercorak Islam-Jawa. Sungai Cimanuk yang membelah kedua kecamatan itu juga, sebenarnya dulu menjadi urat nadi perekonomian dan militer, yang hilirnya adalah pelabuhan. Kompleks pecinan dan perkampungan arab yang ada di sekitarnya menjadi penanda tersendiri akan keberadaan masa lalu itu.
Satu hal yang belum dikemukakan adalah wilayah pesisir Indramayu yang kini terbentang di 12 kecamatan, dengan panjang pantai mencapai 114 km. Dengan keluasan Laut Jawa yang menjadi gerbangnya, sangat mungkin menjadi pintu masuk akan berbagai pengaruh sosial, ekonomi, budaya, dan agama dari berbagai daerah dan bangsa. Agak serius untuk mendiskusikan hal ini lebih jauh. Yang jelas adanya kerajinan batik di Paoman yang motifnya serupa dengan Lasem (Rembang), kerajinan gerabah di blok Anjun (Paoman) dan Wirapanjunan (Kandanghaur) juga memiliki nama sama dengan lokasi kerajinan gerabah di Panjunan (Cirebon).
Hal di atas bisa dihubungkan dengan kedatangan Syarif Abdurrakhman beserta ketiga adiknya di Cirebon pada tahun 1464. Mereka adalah putra-putra Sultan Sulaeman dari Baghdad, Irak, yang berguru kepada Syeh Nurul Jati dan Mbah Kuwu Cakrabuana. Mereka kemudian menetap di Panjunan. Nama panjunan itu berasal dari anjun, barang-barang keramik yang terbuat dari tanah liat.

Beliau besarta pengikutnya menyebarkan agama Islam, membangun mesjid, dan juga mengerjakan sebuah karya anjun yaitu membuat barang-barang keramik dari tanah liat. Dari sinilah tempat itu disebut panjunan. Beliau juga membuat taman lelangu / taman untuk istirahat dan penenang hati memandang ke alam bebas / panorama gunung Ciremai. Dari sinilah tempat itu disebut Plangon (kawasan Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon). Di sini pulalah makam beliau (P.S. Sulendraningrat, 1975).

Rumah-rumah penduduk di Junti yang bergaya Majapahit menandaskan keterpengaruhan itu. Nama-nama desa di pesisir Indramayu juga menyiratkan keterpengaruhan nama dari luar. Antara Karangampel-Balongan, misalnya, ada lima nama yang juga memiliki kesamaan dengan nama di Jawa Timur, yaitu seperti Kamal, Tuban, Sampang, Lombang, dan Majakerta.
Keterkaitan dengan Majapahit ini bisa jadi karena ekspansi kerajaan besar tersebut ke seluruh nusantara saat Prabu Hayam Wuruk berkuasa dengan Mahapatih Gajah Mada pada abad ke-14. Data yang paling dekat adalah pada abad ke-15 atau antara taun 1491 dan 1492, yaitu adanya perkawinan Sunan Gunung Jati dengan Nyai Ageng Tepasari, putri Ki Ageng Tepasan, mantan penguasa di daerah Majapahit yang kemudian ikut Raden Patah, Sultan Demak. Dari perkawinan Sunan Gunung Jati dengan Nyi Ageng Tepasari dikaruniai dua anak, yaitu Nhay Ratu Ayu dan Pangeran Mohamad Arifin (Pangeran Pasarean) (Dasuki 1977; Sunardjo, 1983).
Melihat wilayah sosio-kultural yang terpotret sekarang ini, sekali lagi, bukan sebuah kejadian yang berdiri sendiri. Ada pengaruh dari benang merah masa lalu yang bernama sejarah. Masalah yang muncul, apakah benar Indramayu, yang terbentang dari Sukra-Gantar hingga Kertasemaya-Krangkeng, yang pernah berhubungan dengan Pajajaran, Demak, Cirebon, Sumedanglarang, Galuh, Banten, Mataram, bahkan bangsa asing, yang memiliki latar sosio-kultur yang tidak “tunggal”, hanyalah pengaruh Wiralodra semata? Selama ini pengungkapan sejarah di Indramayu lebih banyak berdasarkan terjemahan dan tafsir naskah-naskah tradisional, yang merupakan sumber sekunder. Sebuah pengungkapan yang cenderung hanya sampai pada ranah dan perspektif sebagai sejarah peteng, yang bisa ditafsirkan sebagai kegelapan sejarah karena belum ada relasi yang tegas dengan sumber-sumber primer.

Keindonesiaan Di Bahasa Daerah

Indonesia sebagai negara yang dibentuk berdasarkan proklamasi Agustus 1945 adalah sebuah tempat kosong atau slot. Ia diisi oleh etnis-etnis. Dengan kata lain, ketika menyebutkan Indonesia, maka yang terbayang di dalamnya adalah keberadaan beragam etnis: Jawa, Bali, Batak, Bugis, bahkan Sasak dan ratusan etnis lainnya. Sementara itu, tatkala menyebut etnis tersebut maka yang melekat di dalamnya adalah bahasa-bahasa daerah yang digunakan oleh setiap etnis tersebut.

Artinya, tidak mungkin mengindentifikasi adanya etnis tersebut tanpa bahasa etnis itu sendiri. Sehingga, bahasa daerah menjadi identitas yang menandai keberadaan etnis tersebut yang ada di Indonesia. Karena jelas, etnis-etnis itu sendirilah menjadi pengisi konkret keindonesiaan dan, secara kultural linguis, keindonesiaan ada di bahasa-bahasa daerah di negara ini.

Sewajarnya, bahasa Indonesia secara etimologis, seharusnya dipahami sebagaimana memahami konsep Indonesia sendiri, yaitu sebagai tempat kosong, yang mengisi untuk pertama kalinya adalah bahasa Melayu dan pengisi pengembangannya adalah bahasa-bahasa daerah. Untuk itu perlu strategi kebudayaan, khususnya kebahasaan dan sastra daerah, yang dapat merajut keindonesiaan dari pandangan kebahasaan etnis.

Dengan konsep tersebut, secara filosofis, kehidupan berindonesia dapat dimaknai sebagai relasi fungsional antar etnis yang menjadi pengisi keindonesiaan itu dengan sendirinya. Agar relasi fungsional dapat berjalan sesuai hajat pembentukan Indonesia, diperlukan sistem budaya (sistem nilai) yang mengatur jalannya relasi fungsional tersebut, misalnya sikap toleran, menghargai keberagaman dan sebagainya.

Jelas, bahasa yang masih hidup kini akan senantiasa mengalami perubahan, bahasa Indonesia dan bahasa dearah Sasak contohnya. Perubahan itu sejalan dengan kebutuhan masyarakat terhadap bahasa yang bersangkutan. Perubahan dapat terjadi pada segi ejaan, unsur ataupun status bahasa. Perubahan ejaan misalnya dialami bahasa Indonesia pada tahun 1928 dijadikan sebagai bahasa nasional dan pada tahun 1945 di samping sebagai bahasa nasional juga sebagai bahasa negara. Dan bahasa Sasak lebih dipengaruhi oleh bahasa Jawa Sanskrit yang dibawa oleh penganut Budha ke pulau Lombok.

Terjadinya perubahan pada bahasa ini mengisyaratkan diperlukannya perencanaan kebahasaan. Tanpa sebuah perencanaan bahasa, perubahan yang terjadi terhadap bahasa tersebut cenderung tidak terarah. Perubahan yang tidak terarah ini pada akhirnya akan menimbulkan ketidaklancaran dalam berkomunikasi di bahasa tersebut.

Usaha perencanaan kebahasaan dalam hal ini bahasa Indonesia salah satunya dilakukan dengan cara membina sikap positif terhadap bahasa tersebut. Sikap positif terhadap bahasa Indonesia, urgensinya adalah mengedepankan sikap setia dan bangga terhadap bahasa Indonesia. Sikap positif terhadap bahasa Indonesia ini mengandung makna taat asas dan patuh pada kebijaksanaan kebahasaan yang ditetapkan pemerintah.

Selain perubahan kebahasaan bahasa Indonesia, eksistensi bahasa daerah juga hampir bernasib sama. Masalahnya adalah bagaimana menjaga, kedudukan dan fungsi, bahasa daerah dalam keberagaman masyarakat Indonesia di era global ini. Ketika hanya bahasa Indonesia yang menjadi lambang identitas dan kebanggaan nasional, alat pemersatu etnik dan alat perhubungan antar daerah dan budaya, bahasa resmi serta sebagai sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan. Bahkan, bahasa Indonesia menjadi bahasa media massa, pendukung sastra Indonesia.

Walau bahasa Indonesia menduduki fungsi sedemikian hebatnya, bahasa daerah, dengan bahasa ibu dari sebagian besar etnis-etnis di Indonesia dengan dukungan bahasa Indonesia, harus digalakkan pemakaiannya. Tak hanya dalam ritual-ritual budaya, tetapi juga ketika pertemuan-pertemuan kelompok etnis digelar.

Karena harus dipahami, bahwa bahasa Indonesia hidup berdampingan dengan ratusan bahasa daerah di seluruh nusantara. Dan tentu saja, kondisi ini mendatangkan persoalan ekologis antara keduanya. Ketika bahasa Indonesia dipadang lebih berprestise dibandingkan dengan bahasa daerah, sehingga kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia lebih menguat dibanding dengan bahasa daerah. Sehingga kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia lebih menguat dibandingkan dengan kedudukan dan fungsi bahasa daerah.

Dari sisi kepentingan keindonesiaan ini, hal demikian merupakan hal yang dipandang positif, tetapi dilihat dari sisi keharmonisan dalam keanekaragaman, penguatan bahasa Indonesia atas bahasa daerah dipandang sebagai hal yang negatif. Oleh karena itu, selain perencanaan kebahasaan, diperlukan pula reorientasi pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia, dengan tidak hanya, mempertimbangkan keseimbangan ekologisnya dengan bahasa daerah tetapi juga perlindungan eksistensi bahasa daerah (lokal) tersebut.

Perlindungan tehadap eksistensi bahasa daerah telah menjadi bagian upaya badan dunia PBB dan UNESCO dalam menyelamatkan bahasa-bahasa lokal dunia. Demikian juga dengan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia. Meskipun telah ada jaminan keberlangsungan bahasa daerah sebagai bagian dari keberagaman kebudayaan Indonesia dalam UUD 1945 dan dimasukkannya bahasa daerah dalam muatan lokal kurikulum sekolah KTSP, namun semua itu belum menjamin keberlangsungan eksitensi bahasa daerah untuk hidup di tengah bahasa persatuan Indonesia dan arus deras pengaruh negatif globalisasi terhadap tata bahasa sehari-hari dan bahasa asing yang mulai banyak digunakan.

Oleh sebab itu, untuk mencegah bahasa dan sastra daerah dalam posisi marjinal perlu dicari solusi berperspektif studi kultural. Wawasan kebangsaan dapat diintegrasikan secara inklusif ke dalam muatan lokal bahasa dan sastra daerah. Secara kajian budaya, muatan lokal bahasa daerah dapat dipandang sebagai sebagai sebuah kekuatan budaya (cultural capital) yang di dalamnya terkandung dialektikan antara teks dan konteks mengenai identitas, representasi, konsumsi, produksi dan regulasi yang yang menyangkut politik bahasa nasional dan strategi budaya.

Kekuatan budaya tersebut memang sebagai identitas dan kebanggaan suatu daerah dan juga penyatu rasa sedaerah dan tentu bahasa daerah mempunyai kedudukan penting di daerah masing-masing. Walaupun, penurunan pemakaian bahasa daerah di suatu daerah biasanya disesalkan oleh pihak tertentu, tapi tak sedikit bahasa daerah yang mulai musnah, padahal musnahnya bahasa daerah tersebut juga mengindikasikan musnahnya pula satu peradaban manusia di dunia ini.

Mengantisipasi hal tersebut dan sesuai dengan amanat pasal 36 UUD 1945 bahwa bahasa daerah adalah satu unsur pemerkaya bahasa nasional, bahasa Indonesia, dan eksistensinya dilindungi oleh negara. Tak hanya pemerintah pusat, pemerintah daerah pun harus turut menjaga kelestarian bahasa daerah, turut memberdayakan bahasa identitasnya. Salah satu caranya adalah dengan memuat berita berbahasa daerah dan pembelajaran bahasa daerah.

Memang patut diajungi jempol bagi pemerintah daerah yang membuat peraturan daerah mengenai pengajaran bahasa daerah pada siswa di tingkat pendidikan tertentu di wilayah administratifnya dan secara khusus dijadikan suatu jurusan bidang studi di perguruan tinggi. Semisal, di Jawa Barat (di daerah Pantura, sebagian Cirebon, Indramayu, Depok, dan Bekasi), yang jelas-jelas bahasa ibunya bukan bahasa Sunda, tetapi mereka harus belajar bahasa Sunda sebagai muatan lokal. Dan ini tentunya harus dengan mekanisme dan perturan yang detail pembahasannya. Agar tidak merugikan masyarakat dengan bahasa ibu yang berbeda.

Artinya, pemakaiannya dibatasi pada ranah tertentu yang bersifat kedaerahan, baik dalam arti budaya maupun teritorial. Subordinasi linguis ini memang dianggap sebagai penyebab tidak berkembangnya atau -akhirnya- kematian bahasa daerah. Pada situasi dilematis ini, di sisi politis dan historis diharapkan ada tali pengikat bersama yang berupa bahasa persatuan.

Di sisi lain, keberagaman budaya dengan bahasa sebagai sarana pengungkapnya terus dipertahankan dan dikembangkan. Karena keindonesiaan di bahasa daerah adalah niscaya dan perlu rekonstruksi hubungan antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah agar sama-sama hidup dan berkembang serta saling menguntungkan. Wa Allahu ’alam.



Catatan kecil ini merupakan cuplikan pikiran:
Mahsun (Kantor Bahasa Provinsi NTB)
Mansur Ma’sum (Rektor Universitas Mataram)
Asep Muhyidin (FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa)
Yulia Esti Katrini (FKIP Universitas Tidar Magelang)
M. Darwis (Dekan Fakultas Sastra, Makasar)
Arif Budi Wurianto (Universitas Muhammadiyah Malang)
Warso (Staf Subbidang Pengajaran Pusat Bahasa)
C. Ruddyanto (Balai Bahasa Denpasar)

Terimakasih atas kesempatan perbincangan kecil pada mereka. Semoga Seminar Nasional Bahasa Dan Sastra, 24-26 Juni di Mataram, memberi makna, pendidikan dan pembelajaran bagi kesastraan dan kebahasaan negeri ini.

Sejarah Bahasa Jawa

Sejarah Bahasa Jawa
Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan penduduk suku bangsa Jawa terutama di beberapa bagian Banten terutama di kabupaten Serang dan Tangerang, Jawa Barat khususnya kawasan Pantai utara terbentang dari pesisir utara Karawang, Subang, Indramayu dan Cirebon, Jawa Tengah & Jawa Timur di Indonesia.

Penyebaran Bahasa Jawa
Penduduk Jawa yang berpindah ke Malaysia turut membawa bahasa dan kebudayaan Jawa ke Malaysia, sehingga terdapat kawasan pemukiman mereka yang dikenal dengan nama kampung Jawa, padang Jawa. Di samping itu, masyarakat pengguna Bahasa Jawa juga tersebar di berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kawasan-kawasan luar Jawa yang didominasi etnis Jawa atau dalam persentase yang cukup signifikan adalah : Lampung (61%), Bengkulu (25%), Sumatra Utara (antara 15%-25%). Khusus masyarakat Jawa di Sumatra Utara ini, mereka merupakan keturunan para kuli kontrak yang dipekerjakan di berbagai wilayah perkebunan tembakau, khususnya di wilayah Deli sehingga kerap disebut sebagai Jawa Deli atau Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera). Sedangkan masyarakat Jawa di daerah lain disebarkan melalui program transmigrasi yang diselenggarakan semenjak jaman penjajahan Belanda.

Selain di kawasan Nusantara ataupun Malaysia. Masyarakat Jawa juga ditemukan dalam jumlah besar di Suriname, yang mencapai 15% dari penduduk secara keseluruhan, kemudian di Kaledonia Baru bahkan sampai kawasan Aruba dan Curacao serta Belanda. Sebagian kecil bahkan menyebar ke wilayah Guyana Perancis dan Venezuela.

Fonologi
Dialek baku bahasa Jawa, yaitu yang didasarkan pada dialek Jawa Tengah, terutama dari sekitar kota Surakarta dan Yogyakarta memiliki fonem-fonem berikut:

Vokal: Depan Tengah Belakang i u e Y o ([) (T) a
Konsonan: Labial Dental Alveolar Retrofleks Palatal Velar Glotal Eksplosiva p b t d ˆ V tƒ d’ k g ” Frikatif s (‚) h Likuida & semivokal w l r j Sengau m n (s) r K
Perhatian: Fonem-fonem antara tanda kurung merupakan alofon.

Penjelasan Vokal
Tekanan kata (stress) direalisasikan pada suku kata kedua dari belakang, kecuali apabila sukukata memiliki sebuah pepet sebagai vokal. Pada kasus seperti ini, tekanan kata jatuh pada sukukata terakhir, meskipun sukukata terakhir juga memuat pepet. Apabila sebuah kata sudah diimbuhi dengan afiks, tekanan kata tetap mengikuti tekanan kata kata dasar.

Contoh: /jaran/ (kuda) dilafazkan sebagai [j'aran] dan /pajaranan/ (tempat kuda) dilafazkan sebagai [paj'aranan].
Semua vokal kecuali /Y/, memiliki alofon. Fonem /a/ pada posisi tertutup dilafazkan sebagai [a], namun pada posisi terbuka sebagai [T].
Contoh: /lara/ (sakit) dilafazkan sebagai [l'TrT], tetapi /larane/ (sakitnya) dilafazkan sebagai [l'arane]
Fonem /i/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [i] namun pada posisi tertutup lafaznya kurang lebih mirip [e].
Contoh: /panci/ dilafazkan sebagai [p'arci] , tetapi /kancil/ kurang lebih dilafazkan sebagai [k'arcel].
Fonem /u/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [u] namun pada posisi tertutup lafaznya kurang lebih mirip [o].
Contoh: /wulu/ (bulu) dilafazkan sebagai [w'ulu] , tetapi /ˆuyul/ (tuyul) kurang lebih dilafazkan sebagai [ˆ'uyol].
Fonem /e/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [e] namun pada posisi tertutup sebagai [[]. Contoh: /lele/ dilafazkan
sebagai [l'ele] , tetapi /bebek/ dilafazkan sebagai [b'[b[”].
Fonem /o/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [o] namun pada posisi tertutup sebagai [T].
Contoh: /loro/ dilafazkan sebagai [l'oro] , tetapi /boloK/ dilafazkan sebagai [b'TlTK].
Penjelasan Konsonan Fonem /k/ memiliki sebuah alofon. Pada posisi terakhir, dilafazkan sebagai [”]. Sedangkan pada posisi tengah dan awal tetap sebagai [k].
Fonem /n/ memiliki dua alofon. Pada posisi awal atau tengah apabila berada di depan fonem eksplosiva palatal atau retrofleks, maka fonem sengau ini akan berubah sesuai menjadi fonem homorgan. Kemudian apabila fonem /n/mengikuti sebuah /r/, maka akan menjadi [s] (fonem sengau retrofleks).
Contoh: /panjaK/ dilafazkan sebagai [p'arjaK], lalu /anVap/ dilafazkan sebagai [”'asVap]. Kata /warna/ dilafazkan sebagai [w'arsT].
Fonem /s/ memiliki satu alofon. Apabila /s/ mengikuti fonem /r/ atau berada di depan fonem eksplosiva retrofleks, maka akan direalisasikan sebagai [‚].
Contoh: /warsa/ dilafazkan sebagai [w'ar‚T], lalu /esˆi/ dilafazkan sebagai [”'e‚ˆi].

Fonotaktik
Dalam bahasa Jawa baku, sebuah sukukata bisa memiliki bentuk seperti berikut: (n)-K1-(l)-V-K2.
Artinya ialah Sebagai berikut:
- (n) adalah fonem sengau homorgan.
- K1 adalah konsonan eksplosiva ata likuida.
- (l) adalah likuida yaitu /r/ atau /l/, namun hanya bisa muncul kalau K1 berbentuk eksplosiva.
- V adalah semua vokal. Tetapi apabila K2 tidak ada maka fonem /Y/ tidak bisa berada pada posisi ini.
- K2 adalah semua konsonan kecuali eksplosiva palatal dan retrofleks; /c/, /j/, /ˆ/, dan /V/.
Contoh:
- a
- an
- pan
- prang
- njlen

Dialek-Dialek Bahasa Jawa
Bahasa Jawa pada dasarnya terbagi atas dua klasifikasi dialek, yakni :
- Dialek daerah, dan
- Dialek sosial

Karena bahasa ini terbentuk dari gradasi-gradasi yang sangat berbeda dengan Bahasa Indonesia maupun Melayu, meskipun tergolong rumpun Austronesia. Sedangkan dialek daerah ini didasarkan pada wilayah, karakter dan budaya setempat. Perbedaan antara dialek satu dengan dialek lainnya bisa antara 0-70%. Untuk klasifikasi berdasarkan dialek daerah, pengelompokannya mengacu kepada pendapat E.M. Uhlenbeck, 1964, di dalam bukunya : "A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura", The Hague: Martinus Nijhoff[1].

Kelompok Bahasa Jawa Bagian Barat
- Dialek Banten
- Dialek Cirebon
- Dialek Tegal
- Dialek Banyumasan
- Dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas)

Kelompok pertama di atas sering disebut bahasa Jawa ngapak-ngapak.
Kelompok Bahasa Jawa Bagian Tengah :
- Dialek Pekalongan
- Dialek Kedu
- Dialek Bagelen
- Dialek Semarang
- Dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)
- Dialek Blora
- Dialek Surakarta
- Dialek Yogyakarta
- Dialek Madiun

Kelompok kedua di atas sering disebut Bahasa Jawa Standar, khususnya dialek Surakarta dan Yogyakarta.

Kelompok Bahasa Jawa Bagian Timur :
- Dialek Pantura Jawa Timur (Tuban, Bojonegoro)
- Dialek Surabaya
- Dialek Malang
- Dialek Jombang
- Dialek Tengger
- Dialek Banyuwangi (atau disebut Bahasa Osing)

Kelompok ketiga di atas sering disebut Bahasa Jawa Timuran.
Dialek sosial dalam Bahasa Jawa berbentuk sebagai berikut :
- Ngoko
- Ngoko andhap
- Madhya
- Madhyantara
- Kromo
- Kromo Inggil




Mungkin bagusnya ditampilkan sejarah penggunaannya yang dimulai dengan bahasa sanskerta sampai sekarang.

Dulu saya pernah baca juga tentang perjalanan bahasa sunda yang dimulai prasasti Tarumanagara sampai sekarang. Dimana manusia memang bersifat dinamis yang terus menerus akan mengalami penyesuaian





Sejarah Penggunaan Bahasa Sunda Di Tatar Sunda

Bahasa Sunda merupakan bahasa yang diciptakan dan digunakan oleh orang Sunda dalam berbagai keperluan komunikasi kehidupan mereka. Tidak diketahui kapan bahasa ini lahir, tetapi dari bukti tertulis yang merupakan keterangan tertua, berbentuk prasasti berasal dari abad ke-14.

Prasasti dimaksud di temukan di Kawali Ciamis, dan ditulis pada batu alam dengan menggunakan aksara dan Bahasa Sunda (kuno). Diperkirakan prasasti ini ada beberapa buah dan dibuat pada masa pemerintahan Prabu Niskala Wastukancana (1397-1475).

Salah satu teks prasasti tersebut berbunyi “Nihan tapak walar nu siya mulia, tapak inya Prabu Raja Wastu mangadeg di Kuta Kawali, nu mahayuna kadatuan Surawisésa, nu marigi sakuliling dayeuh, nu najur sakala désa. Ayama nu pandeuri pakena gawé rahayu pakeun heubeul jaya dina buana” (inilah peninggalan mulia, sungguh peninggalan Prabu Raja Wastu yang bertakhta di Kota Kawali, yang memperindah keraton Surawisesa, yang membuat parit pertahanan sekeliling ibukota, yang menyejahterakan seluruh negeri. Semoga ada yang datang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia).

Dapat dipastikan bahwa Bahasa Sunda telah digunakan secara lisan oleh masyarakat Sunda jauh sebelum masa itu. Mungkin sekali Bahasa Kw’un Lun yang disebut oleh Berita Cina dan digunakan sebagai bahasa percakapan di wilayah Nusantara sebelum abad ke-10 pada masyarakat Jawa Barat kiranya adalah Bahasa Sunda (kuno), walaupun tidak diketahui wujudnya.

Bukti penggunaan Bahasa Sunda (kuno) secara tertulis, banyak dijumpai lebih luas dalam bentuk naskah, yang ditulis pada daun (lontar, enau, kelapa, nipah) yang berasal dari zaman abad ke-15 sampai dengan 180. Karena lebih mudah cara menulisnya, maka naskah lebih panjang dari pada prasasti. Sehingga perbendaharaan katanya lebih banyak dan struktur bahasanya pun lebih jelas. Contoh bahasa Sunda yang ditulis pada naskah adalah sebagai berikut:

(1) Berbentuk prosa pada Kropak 630 berjudul Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518) “Jaga rang héés tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo, ulah urang kajongjonan. Yatnakeun maring ku hanteu” (Hendaknya kita tidur sekedar penghilang kantuk, minum tuak sekedar penghilang haus, makan sekedar penghilang lapar, janganlah berlebih-lebihan. Ingatlah bila suatu saat kita tidak memiliki apa-apa!)

(2) Berbentuk puisi pada Kropak 408 berjudul Séwaka Darma (abad ke-16) “Ini kawih panyaraman, pikawiheun ubar keueung, ngaranna pangwereg darma, ngawangun rasa sorangan, awakaneun sang sisya, nu huning Séwaka Darma” (Inilah Kidung nasihat, untuk dikawihkan sebagai obat rasa takut, namanya penggerak darma, untuk membangun rasa pribadi, untuk diamalkan sang siswa, yang paham Sewaka Darma).

Tampak sekali bahwa Bahasa Sunda pada masa itu banyak dimasuki kosakata dan dipengaruhi struktur Bahasa Sanskerta dari India. Setelah masyarakat Sunda mengenal, kemudian menganut Agama Islam, dan menegakkan kekuasaan Agama Islam di Cirebon dan Banten sejak akhir abad ke-16. Hal ini merupakan bukti tertua masuknya kosakata Bahasa Arab ke dalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda.

Di dalam naskah itu terdapat 4 kata yang berasal dari Bahasa Arab yaitu duniya, niyat, selam (Islam), dan tinja (istinja). Seiring dengan masuknya Agama Islam kedalam hati dan segala aspek kehidupan masyarakat Sunda, kosa kata Bahasa Arab kian banyak masuk kedalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda dan selanjutnya tidak dirasakan lagi sebagai kosakata pinjaman.

Kata-kata masjid, salat, magrib, abdi, dan saum, misalnya telah dirasakan oleh orang Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendaharaan bahasanya sendiri. Pengaruh Bahasa Jawa sebagai bahasa tetangga dengan sesungguhnya sudah ada sejak Zaman Kerajaan Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendaharaan bahasanya. Paling tidak pada abad abad ke-11 telah digunakan Bahasa dan Aaksara Jawa dalam menuliskan Prasasti Cibadak di Sukabumi. Begitu pula ada sejumlah naskah kuno yang ditemukan di Tatar Sunda ditulis dalam Bahasa Jawa, seperti Siwa Buda, Sanghyang Hayu.

Namun pengaruh Bahasa Jawa dalam kehidupan berbahasa masyarakat Sunda sangat jelas tampak sejak akhir abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19 sebagai dampak pengaruh Mataram memasuki wilayah ini. Pada masa itu fungsi Bahasa Sunda sebagai bahasa tulisan di kalangan kaum elit
terdesak oleh Bahasa Jawa, karena Bahasa Jawa dijadikan bahasa resmi dilingkungan pemerintahan. Selain itu tingkatan bahasa atau Undak Usuk Basa dan kosa kata Jawa masuk pula kedalam Bahasa Sunda mengikuti pola Bahasa Jawa yang disebut Unggah Ungguh Basa.

Dengan penggunaan penggunaan tingkatan bahasa terjadilah stratifikasi social secara nyata. Walaupun begitu Bahasa Sunda tetap digunakan sebagai bahasa lisan, bahasa percakapan sehari-hari masyarakat Sunda. Bahkan di kalangan masyarakat kecil terutama masyarakat pedesaan, fungsi bahasa tulisan dan bahasa Sunda masih tetap keberadaannya, terutama untuk menuliskan karya sastera WAWACAN dengan menggunakan Aksara Pegon.

Sejak pertengahan abad ke 19 Bahasa Sunda mulai digunakan lagi sebagai bahasa tulisan di berbagai tingkat sosial orang Sunda, termasuk penulisan karya sastera. Pada akhir abad ke 19 mulai masuk pengaruh Bahasa Belanda dalam kosakata maupun ejaan menuliskannya dengan aksara
Latin sebagai dampak dibukanya sekolah-sekolah bagi rakyat pribumi oleh pemerintah.

Pada awalnya kata BUPATI misalnya, ditulis boepattie seperti ejaan Bahasa Sunda dengan menggunakan Aksara Cacarakan (1860) dan Aksara Latin (1912) yang dibuat oleh orang Belanda. Selanjutnya, masuk pula kosakata Bahasa Belanda ke dalam Bahasa Sunda, seperti sepur, langsam,
masinis, buku dan kantor.

Dengan diajarkannya di sekolah-sekolah dan menjadi bahasa komunikasi antar etnis dalam pergaulan masyarakat, Bahasa Melayu juga merasuk dan mempengaruhi Bahasa Sunda. Apalagi setelah dinyatakan sebagai bahasa persatuan dengan nama Bahasa Indonesia pada Tahun 1928. Sejak tahun
1920-an sudah ada keluhan dari para ahli dan pemerhati Bahasa Sunda, bahwa telah terjadi Bahasa Sunda Kamalayon, yaitu Bahasa Sunda bercampur Bahasa Melayu.

Sejak tahun 1950-an keluhan demikian semakin keras karena pemakaian Bahasa Sunda telah bercampur (direumbeuy) dengan Bahasa Indonesia terutama oleh orang-orang Sunda yang menetap di kota-kota besar, seperti Jakarta bahkan Bandung sekalipun. Banyak orang Sunda yang tinggal di kota-kota telah meninggalkan pemakaian Bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari di rumah mereka. Walaupun begitu, tetap muncul pula di kalangan orang Sunda yang dengan gigih memperjuangkan
keberadaan dan fungsionalisasi Bahasa Sunda di tengah-tengah masyarakatnya dalam hal ini Sunda dan Jawa Barat. Dengan semakin banyaknya orang dari keluarga atau suku bangsa lain atau etnis lain yang menetap di Tatar Sunda kemudian berbicara dengan Bahasa Sunda dalam pergaulan sehari-harinya. Karena itu, kiranya keberadaan Bahasa Sunda optimis bakal terus berlanjut.

Sumber: Ensiklopedi Sunda
Penerbit: Pustaka Jaya





Masyarakat Sunda Pernah Melupakan Aksaranya

Konon, bangsa Cina telah mempunyai aksara sejak 3.000 atau 2.000 tahun sebelum Masehi. Sedangkan bangsa India telah memiliki aksara sejak kira-kira 800 tahun sebelum Masehi. Tetapi, percaya atau tidak, etnis Sunda malah pernah melupakan aksaranya sendiri lalu ironisnya malah mengadopsi aksara dari Jawa.

BAHKAN sampai sekarang, yang disebut aksara Sunda adalah hanacaraka masih banyak yang mengakui. Mau tahu? Coba saja jalan-jalan di Kota Tasikmalaya, sebuah daerah yang selama ini dijadikan pusat pertumbuhan di wilayah Priangan Timur, Jawa Barat. Setiap kita menemukan petunjuk nama jalan, di bawah aksara Latin selalu ditulis dengan aksara hanacaraka.

Aksara tersebut selama dua ratus tahun lebih dianggap sebagai aksara Sunda. Selain untuk kepentingan administrasi lokal, aksara hanacaraka tersebut sampai tahun 1950-an masih diajarkan sebagai aksara Sunda di sekolah-sekolah menengah. "Karena cara menulisnya susah, sebagian dari tugas sekolah saya tulis dengan huruf Latin," Gubernur HR Nuriana mengungkapkan pengalaman masa kecilnya di depan lebih dari 600 peserta Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) di Bandung.

Ketika guru meminta Nuriana muda membacakan hasil pekerjaannya, tentu saja ia bisa membacanya dengan lancar. Namun, rupanya hal itu membuat gurunya curiga. Ia kemudian memeriksa pekerjaan muridnya yang nakal. "Akhirnya, saya disetrap di depan kelas karena separuh dari tugas tersebut ditulis dengan huruf Latin," katanya terkekeh-kekeh.

Yang dimaksud dan telanjur disebut aksara Sunda hanacaraka adalah aksara yang diambil dari aksara Jawa atau biasa disebut carakan. Tetapi, di lidah orang Sunda kemudian menjadi cacarakan.

Di beberapa daerah, aksara tersebut sering dianggap mempunyai nilai sakral. Buktinya, di beberapa masyarakat adat masih ada yang menggunakannya untuk menentukan hari baik atau hari buruk untuk melaksanakan atau menyelenggarakan kegiatan mereka. Aksara tersebut kemudian dikonversi menurut angka-angka sesuai dengan urutan abjadnya.

***

ADOPSI yang dilakukan masyarakat Sunda terhadap aksara Jawa bukan berarti sebelumnya mereka tidak memiliki kecakapan menulis. Jauh sebelum itu, Kepala Museum Sri Baduga Jawa Barat Tien Wartini mengungkapkan, tradisi tulis pada masyarakat Sunda telah berlangsung dalam rentang waktu yang amat panjang.

Bahkan sebelum mengenal aksara, masyarakat Sunda telah mengenal simbol-simbol yang digoreskan pada batu, seperti yang ditemukan di Kampung Kuta, Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi. Hingga kini, goresan berupa simbol tersebut masih digunakan oleh masyarakat Badui pada kolenjer, yakni alat perhitungan waktu untuk pranatamangsa atau kalender pertanian dan waroge, yakni alat untuk mengusir roh jahat ketika nukuh yang merupakan salah satu rangkaian upacara dalam proses menanam padi.

Akan tetapi, kecakapan menulis dalam arti menggunakan aksara, sudah dikenal sejak abad ke-5 Masehi, bersamaan dengan masuknya pengaruh Hindu di Jawa Barat yang kemudian memperkenalkan aksara Pallawa. Di Jawa Barat ditemukan sebanyak 29 prasasti dan 25 prasasti di antaranya berasal dari masa Kerajaan Sunda.

Empat prasasti yang berasal dari Kerajaan Tarumanagara masing-masing Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Ciaruteun, Prasasti Cidanghiang, dan Prasasti Tugu bisa membuktikan hal ini. Prasasti Kebon Kopi ditemukan di kebun kopi milik Jonathan Rig, dibuat sekitar 400 Masehi (H Kern 1917).

Sementara Prasasti Ciaruteun ditemukan pada aliran Sungai Ciaruteun, merupakan salah satu bukti paling terkenal tentang kehadiran Kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat. Sedangkan Prasasti Cidanghiang yang ditemukan di aliran Sungai Cidanghiang, sebuah sungai yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, isinya merupakan pujian kepada Raja Purnawarman. Prasasti Tugu ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi.

Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya.

Selain aksara Pallawa yang menjadi cikal bakal aksara-aksara daerah di Nusantara, masyarakat juga mengenal aksara lainnya, yaitu aksara tipe Pranagari yang berasal dari India utara. Di Jawa Barat, aksara tipe ini dapat dibuktikan melalui teks-teks naskah yang berlatar belakang Buddhis. Misalnya Kunjakarna, Serat Catur Bumi, Serat Dewa Buddha, dan lainnya.

Tinggalan yang masih bisa kita saksikan saat ini yang berkaitan dengan agama Buddha adalah Kabuyutan Ciburuy di Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut. Di sana masih tersimpan naskah-naskah dari lontar maupun nipah serta alat-alat untuk membuatnya, berupa peso pagot dan gunting untuk memotong daun.

***

BUKTI-bukti kreativitas tradisi tulis pada masyarakat Sunda itu bisa disaksikan pada pameran di Museum Negeri Sri Baduga Jawa Barat yang diselenggarakan bersamaan dengan Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) di Bandung, 25 Agustus-6 September mendatang. Dalam pameran tersebut, selain ditampilkan aksara Pallawa, juga ditampilkan aksara Sunda kuna dan Jawa kuna.

Aksara Sunda kuna pada awalnya merupakan perkembangan dari aksara tipe Pallawa Lanjut yang mengacu pada model aksara Kamboja dengan beberapa ciri yang masih melekat dari pengaruh tipe aksara prasasti-prasasti zaman Tarumanagara, sebelum mencapai taraf modifikasi bentuk khasnya sebagaimana yang digunakan naskah-naskah (lontar) abad ke-16.

Penggunaan aksara Sunda kuna dalam bentuk paling awal antara lain dijumpai pada prasasti-prsasasti yang terdapat di Astanagede, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, dan Prasasti Kebantenan yang dijumpai di Kabupaten Bekasi. Perkembangan aksara Sunda kuna yang dinilai telah mencapai tahap modifikasi yang lebih mantap ditemukan dalam naskah-naskah lontar abad ke-16.

Kenyataan ini sekaligus memperlihatkan kreativitas masyarakat Sunda dalam kegiatan menulis. Penggunaan aksara tersebut dinilai cukup lama karena sampai pertengahan abad ke-18 masih digunakan dalam menulis naskah Waruga Guru.

***

SELAIN aksara Jawa kuna sebagaimana dijumpai pada Prasasti Cibadak atau Sanghyang Tapak dan Prasasti Huludayeuh dan Batutulis, dengan masuknya Islam, maka masyarakat Sunda mulai mengenal aksara Arab dan aksara Arab Pegon yang biasa digunakan untuk teks berbahasa Sunda atau Jawa.

Dalam naskah-naskah Sunda, aksara Pegon memakai tanda vokalisasi. Jika ada naskah Sunda yang beraksara Pegon atau aksara Arab tanpa vokalisasi, aksara itu disebut aksara Gundil atau aksara Arab Gundul.

Masyarakat Sunda makin melupakan aksara yang diciptakan nenek moyangnya sendiri dengan digunakannya aksara Cacarakan. Aksara yang diadopsi dari aksara Jawa modern yang biasa disebut carakan itu oleh Coolsma (1904) disebut aksara Sunda-Jawa.

Model aksara tersebut pada mulanya diusahakan oleh Grashuis pada tahun 1860 yang membuat pedoman menuliskan bahasa Sunda dengan aksara carakan dalam bukunya Handleiding voor het Aanleren van het Soendaneesch Letterschrift. Dengan demikian, sejak itu yang disebut aksara Sunda tidak lain adalah dari model aksara Carakan Jawa yang terdiri dari 18 buah aksara ngalagena karena dalam tatafenom bahasa Sunda tidak dibedakan antara lambang bunyi da dengan dha dan ta dengan tha.

Tahun 1927, R Djajadiredja menyusun ejaan bahasa Sunda dengan aksara Cacarakan yang kemudian diikuti dengan buku pedoman khusus untuk Sekolah Rendah (SR) yang disusun Soeria Di Radja dengan judul Tjatjarakan dan dicetak di Groningen-Batavia: JB Wolters Uitgeversmaatschappij NV tahun 1930 lalu disusul cetakan kedua pada tahun 1948. Pada tahun 1935 terbit sebuah buku bacaan Langensari karya Rd Rangga Sastraatmadja, Soeria Di Radja dan Raden Kanduruwan Soerapoetra.

Masyarakat Sunda memasuki babak baru dengan dikenalnya aksara Latin yang masuk bersamaan dengan kehadiran bangsa Belanda dan bangsa-bangsa Eropa lainnya pada abad ke-16. Sekitar satu abad kemudian, aksara Latin mulai digunakan dengan aksara Arab Gundul dan aksara Cacarakan sebagaimana terdapat dalam Surat Keputusan Kompeni dan para penguasa di Cirebon pada tanggal 3 November 1705 dan 9 Februari 1706.

Aksara Sunda kuna yang terlupakan selama lebih dari sepuluh abad, barulah memperoleh pengukuhan sebagai warisan nenek moyang masyarakat Sunda pada pertengahan tahun 1999 setelah sebelumnya melewati dua kali diskusi panjang pada tahun 1997.

Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah No 6 Tahun 1996 tentang Pelestarian, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra dan Aksara Sunda antara lain disebutkan, aksara Sunda adalah sistem ortografi hasil kreasi masyarakat Jawa Barat yang meliputi aksara dan sistem pengaksaraannya untuk menuliskan bahasa Sunda. Sedangkan salah satu fungsinya antara lain sebagai lambang jati diri dan kebanggaan daerah. (Her Suganda)
.
Quote:Huruf Asli di Indonesia Masa Kini

Oleh: Dick van der Meij

Huruf asli di Indonesia dewasa ini sudah jarang dipakai. Di kebanyakan daerah di Indonesia, huruf-huruf asli itu bahkan sudah terancam punah.

Huruf asli yang dimaksud di sini adalah huruf non- Latin, seperti aksara Jawa dan Bali, Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan, huruf Batak, dan—tentu saja—huruf Jawi dan Pegon.

Huruf Jawi, yang juga sering disebutkan aksara Arab gundul atau Melayu gundul, dipakai untuk bahasa Melayu, Minangkabau, dan Aceh. Adapun huruf Pegon adalah huruf berbasis huruf Arab yang dipakai untuk bahasa Jawa dan Sunda, khususnya untuk teks-teks tentang Islam. Itu tidak berarti bahwa dahulu aksara Jawa tidak dipakai untuk teks Jawa yang membahas hal ikhwal Islam seperti sekarang sering disangka orang Jawa maupun orang Indonesia lainnya.

Dan memang, kalau kita ke toko buku modern di mana saja di Indonesia, buku dalam huruf asli mana saja jarang sekali ditemukan. Untuk seorang pengamat asing seperti penulis, menyaksikan orang Indonesia umumnya, seolah-olah dengan sangat mudah, meninggalkan huruf asli mereka sangat mengherankan.

Saya sering mendengar pengakuan bahwa orang Jawa pada umumnya menganggap sangat sulit belajar aksara Jawa. Padahal, orang Jawa yang beragama Islam rata-rata menguasai dua jenis sistem penulisan, yaitu huruf Latin dan huruf Arab.

Rupanya rasa segan untuk belajar aksara Jawa itu sangat dalam, dan saya belum menemukan alasan sebenarnya kenapa aversi terhadap aksara Jawa itu timbul dan bertahan. Mungkin saja itu karena aksara hanacaraka tetap merujuk pada suatu masa sejarah peradaban Jawa, yang sudah ditinggalkan dalam zaman modern ini. Anehnya, banyak di antara mereka menyatakan senang mempelajari aksara Jawa di sekolah waktu masih kecil.

Aksara Jawa

Memang perdebatan apakah huruf Jawa pantas atau lazim dipakai untuk menulis hal-hal yang modern sudah cukup lama didiskusikan. Dalam majalah Djåwå tahun 1927, misalnya, dapat dibaca perdebatan itu dalam laporan mengenai Kongres Bahasa Jawa yang diadakan pada 25-27 Maret 1927.

Ketika itu muncul diskusi yang cukup hangat antara orang yang ingin mempertahankan pemakaian aksara Jawa dan mereka yang ingin meninggalkannya dan menggantikannya dengan huruf Latin. Keadaan zaman sekarang membuktikan bahwa kubu yang menghendaki aksara Jawa ditinggalkan rupanya yang menang.

Di toko buku di Yogyakarta dan Jawa pada umumnya sulit sekali menemukan buku yang dicetak dalam huruf Jawa. Ternyata aksara hanacaraka itu boleh dikatakan sudah mulai punah. Dewasa ini, orang yang masih bisa membacanya—apalagi menulisnya—sulit ditemukan, terlebih di kalangan orang muda.

Kalaupun orang ingin membeli buku yang ditulis dalam aksara hanacaraka, tidak ada gunanya mencarinya di toko buku besar seperti Gramedia atau Periplus. Untuk menemukan buku-buku beraksara hanacaraka yang umumnya dicetak pada zaman penjajahan Belanda itu orang perlu mencarinya ke shopping centre, pusat pertokoan buku baru dan lama di Yogyakarta.

Di luar itu, salah satu bekas adanya huruf hanacaraka di Jawa Tengah adalah penulisan nama jalan yang memang menggunakan huruf Latin dan aksara Jawa walaupun huruf Latin dicetak lebih besar dibanding aksara Jawa.

Sedikit berbeda dengan kasus aksara Bali di Bali. Di sini aksara Bali masih cukup dikenal karena ada hubungan erat dengan kebudayaan dan agama Hindu- Bali. Aksara Bali memiliki peranan penting dalam kehidupan berfilsafat dan beragama di Pulau Dewata.

Buku cetakan yang memakai aksara Bali gampang ditemukan di toko buku di seluruh Bali. Apalagi kini aksara Bali sudah ”memasuki” zaman modern dengan adanya software yang memungkinkan mencetak aksara Bali dengan komputer, dan hasil cetakannya dapat dibeli di toko buku.

Adapun di Lombok, di seberang Pulau Bali, huruf Jejawen atau aksara Jawa corak Sasak sekarang sudah jarang dipakai. Bahkan, buku cetakan yang menggunakan huruf itu sama sekali tidak pernah saya temukan. Di Madura sama halnya.

Huruf Jawi

Lalu, bagaimana nasib huruf Jawi dan Pegon? Apakah huruf itu masih dipakai sampai sekarang atau nasibnya sama dengan aksara hanacaraka di Jawa dan Madura?

Kalau kita berjalan ke Riau dan Riau Kepulauan, huruf Jawi juga digunakan pada papan nama jalan, selain huruf Latin. Seperti halnya di kasus aksara hanacara di Jawa, di sini pun penggunaan huruf Latin untuk nama jalan lebih besar daripada huruf Jawi.

Lain dengan di Jawa, di Riau masih dapat dibeli buku yang ditulis dalam huruf Jawi walaupun jumlahnya juga tidak terlalu banyak. Buku itu kebanyakan berisi hal-hal yang berkaitan dengan agama Islam. Buku sastra belum saya temukan selama perjalanan saya ke Pulau Bintan dan Batam.

Jenis buku yang paling banyak dapat dibeli di pulau itu adalah buku saku berisi peraturan tentang perilaku agama Islam, seperti Majmu’ Syarif Shofa Marwah. Buku dalam format lebih besar juga ada, seperti Wahyu al-Minbar, Fasalatan, Majmu’ah Maulud Sharaf al-Anam, Majmu’ah Mawalud wa Ad’iyyah, dan Sir as-Salikin.

Memang, di Tanjung Pinang saya juga sempat membeli kamus Arab-Melayu karangan Syeikh Muhammad Idris al-Marbawi dari Perak yang dicetak di Indonesia dalam huruf Arab dan Jawi. Buku-buku ini memang dijual, tetapi belum tentu penjual bisa membacanya! Tentu saja buku itu juga dapat dibeli di sana-sini di toko buku Islam di Jakarta dan kota-kota besar lainnya.

Di Yogyakarta, buku yang memakai huruf Jawi atau Pegon dapat dibeli di pinggir jalan atau kios di sebelah Pasar Beringharjo. Kebetulan orang Jawa yang menjual buku itu memang sangat mahir membacanya. Sayang, jumlah buku berhuruf Pegon sangat sedikit.

Rupanya buku itu hanya dijual kepada orang yang ingin memperkuat rasa Jawa-Islamnya dengan terjun ke dalam agama Islam dengan memakai bahasa Jawa dan huruf Pegon. Yang sangat menarik, di antara buku yang dijual di Pasar Beringharjo terdapat Al Quran dengan terjemahan dalam bahasa Jawa yang dijual secara jilidan: juz per juz.

Jadi, apakah huruf asli akan hilang dari Nusantara? Saya kira masih ada usaha untuk melestarikan sistem penulisan dari zaman dahulu kala tersebut.

Di Sunda, misalnya, konon ada sebuah pesantren yang mulai lagi mencetak kitab kuning dengan memakai bahasa Sunda berhuruf Pegon. Langkah semacam itu memang penting. Kalau huruf asli tidak dikenal lagi, siapakah yang akan bisa menggarap khazanah naskah lama yang ditulis dalam berjenis-jenis huruf dan aksara Nusantara?

Dick van der Meij Filolog dari Leiden, Belanda. Saat Ini Guru Besar Tamu di UIN Jakarta dan research fellow di CSRC UIN Jakarta



Entri Populer