Banner

Total Tayangan Halaman

Translate

Tampilkan postingan dengan label Bahasa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bahasa. Tampilkan semua postingan

Jumat, 05 Maret 2010

Keindonesiaan Di Bahasa Daerah

Indonesia sebagai negara yang dibentuk berdasarkan proklamasi Agustus 1945 adalah sebuah tempat kosong atau slot. Ia diisi oleh etnis-etnis. Dengan kata lain, ketika menyebutkan Indonesia, maka yang terbayang di dalamnya adalah keberadaan beragam etnis: Jawa, Bali, Batak, Bugis, bahkan Sasak dan ratusan etnis lainnya. Sementara itu, tatkala menyebut etnis tersebut maka yang melekat di dalamnya adalah bahasa-bahasa daerah yang digunakan oleh setiap etnis tersebut.

Artinya, tidak mungkin mengindentifikasi adanya etnis tersebut tanpa bahasa etnis itu sendiri. Sehingga, bahasa daerah menjadi identitas yang menandai keberadaan etnis tersebut yang ada di Indonesia. Karena jelas, etnis-etnis itu sendirilah menjadi pengisi konkret keindonesiaan dan, secara kultural linguis, keindonesiaan ada di bahasa-bahasa daerah di negara ini.

Sewajarnya, bahasa Indonesia secara etimologis, seharusnya dipahami sebagaimana memahami konsep Indonesia sendiri, yaitu sebagai tempat kosong, yang mengisi untuk pertama kalinya adalah bahasa Melayu dan pengisi pengembangannya adalah bahasa-bahasa daerah. Untuk itu perlu strategi kebudayaan, khususnya kebahasaan dan sastra daerah, yang dapat merajut keindonesiaan dari pandangan kebahasaan etnis.

Dengan konsep tersebut, secara filosofis, kehidupan berindonesia dapat dimaknai sebagai relasi fungsional antar etnis yang menjadi pengisi keindonesiaan itu dengan sendirinya. Agar relasi fungsional dapat berjalan sesuai hajat pembentukan Indonesia, diperlukan sistem budaya (sistem nilai) yang mengatur jalannya relasi fungsional tersebut, misalnya sikap toleran, menghargai keberagaman dan sebagainya.

Jelas, bahasa yang masih hidup kini akan senantiasa mengalami perubahan, bahasa Indonesia dan bahasa dearah Sasak contohnya. Perubahan itu sejalan dengan kebutuhan masyarakat terhadap bahasa yang bersangkutan. Perubahan dapat terjadi pada segi ejaan, unsur ataupun status bahasa. Perubahan ejaan misalnya dialami bahasa Indonesia pada tahun 1928 dijadikan sebagai bahasa nasional dan pada tahun 1945 di samping sebagai bahasa nasional juga sebagai bahasa negara. Dan bahasa Sasak lebih dipengaruhi oleh bahasa Jawa Sanskrit yang dibawa oleh penganut Budha ke pulau Lombok.

Terjadinya perubahan pada bahasa ini mengisyaratkan diperlukannya perencanaan kebahasaan. Tanpa sebuah perencanaan bahasa, perubahan yang terjadi terhadap bahasa tersebut cenderung tidak terarah. Perubahan yang tidak terarah ini pada akhirnya akan menimbulkan ketidaklancaran dalam berkomunikasi di bahasa tersebut.

Usaha perencanaan kebahasaan dalam hal ini bahasa Indonesia salah satunya dilakukan dengan cara membina sikap positif terhadap bahasa tersebut. Sikap positif terhadap bahasa Indonesia, urgensinya adalah mengedepankan sikap setia dan bangga terhadap bahasa Indonesia. Sikap positif terhadap bahasa Indonesia ini mengandung makna taat asas dan patuh pada kebijaksanaan kebahasaan yang ditetapkan pemerintah.

Selain perubahan kebahasaan bahasa Indonesia, eksistensi bahasa daerah juga hampir bernasib sama. Masalahnya adalah bagaimana menjaga, kedudukan dan fungsi, bahasa daerah dalam keberagaman masyarakat Indonesia di era global ini. Ketika hanya bahasa Indonesia yang menjadi lambang identitas dan kebanggaan nasional, alat pemersatu etnik dan alat perhubungan antar daerah dan budaya, bahasa resmi serta sebagai sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan. Bahkan, bahasa Indonesia menjadi bahasa media massa, pendukung sastra Indonesia.

Walau bahasa Indonesia menduduki fungsi sedemikian hebatnya, bahasa daerah, dengan bahasa ibu dari sebagian besar etnis-etnis di Indonesia dengan dukungan bahasa Indonesia, harus digalakkan pemakaiannya. Tak hanya dalam ritual-ritual budaya, tetapi juga ketika pertemuan-pertemuan kelompok etnis digelar.

Karena harus dipahami, bahwa bahasa Indonesia hidup berdampingan dengan ratusan bahasa daerah di seluruh nusantara. Dan tentu saja, kondisi ini mendatangkan persoalan ekologis antara keduanya. Ketika bahasa Indonesia dipadang lebih berprestise dibandingkan dengan bahasa daerah, sehingga kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia lebih menguat dibanding dengan bahasa daerah. Sehingga kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia lebih menguat dibandingkan dengan kedudukan dan fungsi bahasa daerah.

Dari sisi kepentingan keindonesiaan ini, hal demikian merupakan hal yang dipandang positif, tetapi dilihat dari sisi keharmonisan dalam keanekaragaman, penguatan bahasa Indonesia atas bahasa daerah dipandang sebagai hal yang negatif. Oleh karena itu, selain perencanaan kebahasaan, diperlukan pula reorientasi pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia, dengan tidak hanya, mempertimbangkan keseimbangan ekologisnya dengan bahasa daerah tetapi juga perlindungan eksistensi bahasa daerah (lokal) tersebut.

Perlindungan tehadap eksistensi bahasa daerah telah menjadi bagian upaya badan dunia PBB dan UNESCO dalam menyelamatkan bahasa-bahasa lokal dunia. Demikian juga dengan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia. Meskipun telah ada jaminan keberlangsungan bahasa daerah sebagai bagian dari keberagaman kebudayaan Indonesia dalam UUD 1945 dan dimasukkannya bahasa daerah dalam muatan lokal kurikulum sekolah KTSP, namun semua itu belum menjamin keberlangsungan eksitensi bahasa daerah untuk hidup di tengah bahasa persatuan Indonesia dan arus deras pengaruh negatif globalisasi terhadap tata bahasa sehari-hari dan bahasa asing yang mulai banyak digunakan.

Oleh sebab itu, untuk mencegah bahasa dan sastra daerah dalam posisi marjinal perlu dicari solusi berperspektif studi kultural. Wawasan kebangsaan dapat diintegrasikan secara inklusif ke dalam muatan lokal bahasa dan sastra daerah. Secara kajian budaya, muatan lokal bahasa daerah dapat dipandang sebagai sebagai sebuah kekuatan budaya (cultural capital) yang di dalamnya terkandung dialektikan antara teks dan konteks mengenai identitas, representasi, konsumsi, produksi dan regulasi yang yang menyangkut politik bahasa nasional dan strategi budaya.

Kekuatan budaya tersebut memang sebagai identitas dan kebanggaan suatu daerah dan juga penyatu rasa sedaerah dan tentu bahasa daerah mempunyai kedudukan penting di daerah masing-masing. Walaupun, penurunan pemakaian bahasa daerah di suatu daerah biasanya disesalkan oleh pihak tertentu, tapi tak sedikit bahasa daerah yang mulai musnah, padahal musnahnya bahasa daerah tersebut juga mengindikasikan musnahnya pula satu peradaban manusia di dunia ini.

Mengantisipasi hal tersebut dan sesuai dengan amanat pasal 36 UUD 1945 bahwa bahasa daerah adalah satu unsur pemerkaya bahasa nasional, bahasa Indonesia, dan eksistensinya dilindungi oleh negara. Tak hanya pemerintah pusat, pemerintah daerah pun harus turut menjaga kelestarian bahasa daerah, turut memberdayakan bahasa identitasnya. Salah satu caranya adalah dengan memuat berita berbahasa daerah dan pembelajaran bahasa daerah.

Memang patut diajungi jempol bagi pemerintah daerah yang membuat peraturan daerah mengenai pengajaran bahasa daerah pada siswa di tingkat pendidikan tertentu di wilayah administratifnya dan secara khusus dijadikan suatu jurusan bidang studi di perguruan tinggi. Semisal, di Jawa Barat (di daerah Pantura, sebagian Cirebon, Indramayu, Depok, dan Bekasi), yang jelas-jelas bahasa ibunya bukan bahasa Sunda, tetapi mereka harus belajar bahasa Sunda sebagai muatan lokal. Dan ini tentunya harus dengan mekanisme dan perturan yang detail pembahasannya. Agar tidak merugikan masyarakat dengan bahasa ibu yang berbeda.

Artinya, pemakaiannya dibatasi pada ranah tertentu yang bersifat kedaerahan, baik dalam arti budaya maupun teritorial. Subordinasi linguis ini memang dianggap sebagai penyebab tidak berkembangnya atau -akhirnya- kematian bahasa daerah. Pada situasi dilematis ini, di sisi politis dan historis diharapkan ada tali pengikat bersama yang berupa bahasa persatuan.

Di sisi lain, keberagaman budaya dengan bahasa sebagai sarana pengungkapnya terus dipertahankan dan dikembangkan. Karena keindonesiaan di bahasa daerah adalah niscaya dan perlu rekonstruksi hubungan antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah agar sama-sama hidup dan berkembang serta saling menguntungkan. Wa Allahu ’alam.



Catatan kecil ini merupakan cuplikan pikiran:
Mahsun (Kantor Bahasa Provinsi NTB)
Mansur Ma’sum (Rektor Universitas Mataram)
Asep Muhyidin (FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa)
Yulia Esti Katrini (FKIP Universitas Tidar Magelang)
M. Darwis (Dekan Fakultas Sastra, Makasar)
Arif Budi Wurianto (Universitas Muhammadiyah Malang)
Warso (Staf Subbidang Pengajaran Pusat Bahasa)
C. Ruddyanto (Balai Bahasa Denpasar)

Terimakasih atas kesempatan perbincangan kecil pada mereka. Semoga Seminar Nasional Bahasa Dan Sastra, 24-26 Juni di Mataram, memberi makna, pendidikan dan pembelajaran bagi kesastraan dan kebahasaan negeri ini.

Entri Populer